Negeri Mafia 1
Jika anda tidak percaya bahwa sekarang kita sedang
hidup dinegeri Mafia bernama Indonesia, saya pastikan anda buta !, walaupun
anda Presiden, walaupun anda Mentri, walaupun anda Jendral, Walaupun anda
Professor. Namun tetaplah kata-kata yang paling cocok buat anda adalah Buta, jika
anda mengatakan Indonesia bukan negeri Mafia. Baik presiden buta, mentri buta,
jendral buta atau professor buta. Maaf, saya tidak menggunkan tulisan huruf
besar sesuai dengan tata penulisan untuk nama ‘Jabatan’ atau ‘gelar’, karena
memang ”kalian” belum layak mendapatkan penghormatan sampai sekarang.
Negeri Mafia. Saya mendengar kata Mafia pertama sekali ketika masih sangat kecil. Kelas 1 atau 2 SD. Ketika saat itu sedang maraknya Bollywood merangkak naik daun. Artis-artis dibawah usia Amitabachan (mungkin saya salah menulis namanya yang benar) ketika itu sedang popular-popularnya. Walaupun Amitabachan masih tetap tampil dengan performa khasnya. Beberapa Stasiun televisi bahkan siang-malam memutar film Bollywood ( dulu kami menyebutnya dengan nama Film india).
Bagi saya dan kawan-kawan kecil lainnya, film yang sangat menarik adalah Film yang ada tembak-menembaknya. Tepatnya film perang dan mafia. Bunuh-membunuh, tuan takur, anak muda, preman, bandit, polisi setengah bodoh-goblok yang selalu datang terlambat ketika “anak muda” sudah membunuh semua penjahat. Saya melihat negara yang paling menginjak-nginjak harga diri polisi adalah Negara India melalui produk filmnya. Terbukti, tidak ada anak-anak (sebodoh apapun), apalagi orang tua yang suka dengan actor polisi india. Artinya polisi dinegara itu dalam setiap film tidak jarang menjadi paling “pandir” dari setiap aksinya. Dan dari performa, memang “mungkin” sengaja dicari (sepertinya) orang-orang yang tampak blo’on atau “hana mengkrie” (hancur-hancuran penampilannya; bahasa aceh).
Lalu apa polisi Indonesia juga begitu?. Tentu saja kita punya penilaian yang beragam. Namun akhir-akhir ini sepertinya kepolisian Indonesia mulai memproduksi polisi yang agak “terlihat” pintar. Lihat saja promosi-promosi polwan-polwan cantik, polisi-polisi ganteng (padahal bisa jadi otaknya nol besar) dan polisi joget (menyanyi lagu india). Sengaja atau tidak, paling tidak akan timbul asumsi dari masyarakat seperti anggapan polisi memperbaiki citra, polisi mengambil simpati, polisi narsis atau polisi Indonesia yang berlagak Hindie.
Yang perlu diingat, kondisi polisi Indonesia saat ini jangan berharap mampu memperbaiki citra. Karena ada jurang yang lebih cocok jika pelindung rakyat dan pelayan rakyat mulai cari-cari sensasi. Jurang itu bermuara sama dengan polisi dalam film hindie yang pandir sekaligus yang membosankan. Maka berharap polisi negeri ini menjadi elemen yang focus untuk menegak hokum adalah doa dan mimpi-mimpi kita siang dan malam. Karena kita tidak ingin seperti dalam film Hindie itu. Yang hancur itu. Yang membuat Muntah itu !.
Berbicara tentang Polisi, saya menjadi ingat akan “asumsi pribadi“ tentang perang antar jendral. Kerena berdasar Negara yang melahirkan undang-undang oleh para politisi, maka wajar jika negeri ini lebih cocok sebagai negeri politik atau tempat eksperimen politik. Eksperimen, kata yang terlalu cocok. Karena negeri ini dari awal sampai sekarang masih menggunakan motto ala warkop Dono,kasino,indro “kita gak pernah sukses” dan selalu dalam keadaan coba-coba. Lihat saja proses meredam konflik yang dilakukan diaceh menggunakan berbagai “coba-coba” yang tidak berhasil, namun hanya menambah jumlah korban masyarakat. Berita pemerkosaan, pembunuhan dan perampokan adalah pengganti kopi dipagi hari. Kurang lebih seperti keadaan muslim Pattani Thailand saat ini. Walaupun sebenarnya kesalahan bukan (menurut saya) saja dari pemerintah Indonesia, tapi juga dari para GAM sendiri yang melakukan kaderisasi dari mulai mahasiswa hingga pencuri. Bisa dibayangkan jika pencuri atau preman memegang senjata?? Moncongnya akan tertuju ke dada siapapun. Sesuka mereka.
Perang antar jendral adalah sebuah opini yang tidak ada atau belum ada yang mencoba membeberkan kepublik dengan berani dan disertai dengan eksekusi terhadap kesalahan. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang lalu atau yang akan datang juga tidak lepas dari peran pihak-pihak pembesar dikalangan militer. Maka wajar, kalau sebahagian ahli politik memprediksi beberapa bangku yang akan diduduki benar adanya. Namun ada juga masa dimana para jendral tidak lagi akur, dan maneuver-manuverpun diciptakan. Mulai dari issu teroris dan semacamnya adalah issue yang paling cepat laku dalam perspektif iklan politis. Benar-benar para jendral dan petinggi negeri ini berguru pada Amerika. Ide “menciptakan konflik lalu meredamkan konflik demi upaya melejitkan citra dimata public” selalu dalam kepala mereka.
Alangkah khusyuknya sebahagian orang bodoh menonton sang presiden berlinang air mata dengan bibir berlepotan Lipstik color fixs, seraya berucap “dia layak dipilih tahun depan”. Padahal seperti tidak sadar, bagaimana kebutuhan pokok dan sembako dari hari kehari kian meninggi harganya. Padahal seperti tidak sadar, harga-harga kerajinan tangan masyarakat miskin seperti harga kerupuk “basi” yang dengan susuah payah dibuat, namun belum tentu bisa menukarnya dengan sebambu beras, apalagi sekarung.
Perang antar jendral adalah ironi yang terjadi. Mereka mengejar kepentingan dan menempatkan orang-orang “pro” pada posisi-posisi penting. Jangan heran jika anak jendral dengan mulus lewat tes AKABRI atau AKMIL. Lalu anak-anak kampung, walaupun menjual semua kekayaan kakek, nenek, ayahnya, tidak akan mudah lewat menjadi perwira. Kecuali sebagai Brimob rendahan yang sehariannya menjadi penjaga Bank-Bank dan beerteman dengan Satpam. Sekali-kali saya berfikir ketika mentranfer uang di Bank dan melihat Polisi berdiri disamping Satpam dengan kerja yang hamper serupa “kenapa orang tua-orang tua tidak memasukkan anaknya menjadi Satpam saja dari pada polisi yang banyak menghabiskan biaya, namun kerja tetap sama”. Saya yakin anda juga berfikiran serupa dengan saya. Kecuali anda jatuh cinta dengan polisi itu. Maka walaupun dia seorang karyawan mobil Tinja, tetapi tetap bak Presiden dimata anda. Bicara cinta memang berbicara keindahan kawan !.
Mafia sebenarnya juga bukan “nama” yang selalu cocok dengan daerah ibukota. Didaerah saya, mafia menjadi dewan perwakilan rakyat (DPR). Entah dengan cara apa dia membuat undang-undang (Qanun, Perda). Atau dengan maksud yang bagaimana dia meracik itu semua atas nama rakyat namun penuh intrik untuk dirinya. yang pasti, tidak jarang Mafia menjadi ketua dewan. Maka rapat dewan selalu akur dan damai. Bagi-bagi proyek dan berkongsi kepentingan adalah azas dan dasarnya. Diluar sana, dipasar-pasar kumuh dan becek, masyarakat mengipas-ngipas sayur atau ikan teri busuk yang sedari tadi belum laku-laku karena memang tidak meratanya distribusi uang dalam negeri. Hingga masyarakat mesti menghitung seribu kali untuk membeli lauk dan makanan.
Maka kekayaan adalah milik sebahagian orang. Yang memenangkan tender proyek akan banyak mengumpulkan rupiah, berlomba-lomba membangun istana pribadi, mengoleksi mobil keluaran terbaru dan menguasai lahan dan tanah hingga berates-ratus hektar. Jangan berharap rakyat akan mendapat bagian. Karena pengadilan punya “permainan” yang jauh lebih menarik untuk memenangkan mereka yang sanggup membeli pengacara unggulan dan ternama. Jika anda rakyat, jangan juga mengadu pada polisi dan berharap belas kasih untuk melawan pejabat negeri. Karena urusan belum selesai, bahkan baru mulai, “ongkos” lapor dan mendengar laporan pastilah kemestian sebagai pemulus. Jika anda rakyat bawahan, jangan juga mengadu pada wartawan atau media-media massa melalui wartawan atau kru-kru-nya. Karena mereka selalu dalam keadaan “menimbang” untuk mengekspos berita tentang anda yang terdesak dan sekarat. Kecuali jika anda menebalkan “Amplop” sebagai oleh-oleh ringan. Namun itu juga tidak berlaku jika yang anda adukan adalah orang-orang berdasi tinggi. Karena suara anda akan tenggelam dalam hiruk pikuk pertimbangan.
Maka melaporlah pada yang mau mendengar laporan. Pada yang paling dekat dengan anda melebihi urat leher anda. Pada yang Maha mendengar dan Maha bijaksana. Karena doa-doa adalah kekuatan kita dalam dimensi yang tidak akan dapat disadap oleh alat secanggih apapun. Ber-curhat pada pemilik semesta akan membuat anda menjadi tidak kecil. Karena presiden atau pemimpin negeri sangat terlalu “angkuh” mendengar rintihan anda, namun Allah senantiasa mendengar Rintihan dan Syukur anda. Jika pengadilan dunia abai terhadap anda, maka jangan ragu dengan pengadilan akhirat.
Negeri Mafia. Saya mendengar kata Mafia pertama sekali ketika masih sangat kecil. Kelas 1 atau 2 SD. Ketika saat itu sedang maraknya Bollywood merangkak naik daun. Artis-artis dibawah usia Amitabachan (mungkin saya salah menulis namanya yang benar) ketika itu sedang popular-popularnya. Walaupun Amitabachan masih tetap tampil dengan performa khasnya. Beberapa Stasiun televisi bahkan siang-malam memutar film Bollywood ( dulu kami menyebutnya dengan nama Film india).
Bagi saya dan kawan-kawan kecil lainnya, film yang sangat menarik adalah Film yang ada tembak-menembaknya. Tepatnya film perang dan mafia. Bunuh-membunuh, tuan takur, anak muda, preman, bandit, polisi setengah bodoh-goblok yang selalu datang terlambat ketika “anak muda” sudah membunuh semua penjahat. Saya melihat negara yang paling menginjak-nginjak harga diri polisi adalah Negara India melalui produk filmnya. Terbukti, tidak ada anak-anak (sebodoh apapun), apalagi orang tua yang suka dengan actor polisi india. Artinya polisi dinegara itu dalam setiap film tidak jarang menjadi paling “pandir” dari setiap aksinya. Dan dari performa, memang “mungkin” sengaja dicari (sepertinya) orang-orang yang tampak blo’on atau “hana mengkrie” (hancur-hancuran penampilannya; bahasa aceh).
Lalu apa polisi Indonesia juga begitu?. Tentu saja kita punya penilaian yang beragam. Namun akhir-akhir ini sepertinya kepolisian Indonesia mulai memproduksi polisi yang agak “terlihat” pintar. Lihat saja promosi-promosi polwan-polwan cantik, polisi-polisi ganteng (padahal bisa jadi otaknya nol besar) dan polisi joget (menyanyi lagu india). Sengaja atau tidak, paling tidak akan timbul asumsi dari masyarakat seperti anggapan polisi memperbaiki citra, polisi mengambil simpati, polisi narsis atau polisi Indonesia yang berlagak Hindie.
Yang perlu diingat, kondisi polisi Indonesia saat ini jangan berharap mampu memperbaiki citra. Karena ada jurang yang lebih cocok jika pelindung rakyat dan pelayan rakyat mulai cari-cari sensasi. Jurang itu bermuara sama dengan polisi dalam film hindie yang pandir sekaligus yang membosankan. Maka berharap polisi negeri ini menjadi elemen yang focus untuk menegak hokum adalah doa dan mimpi-mimpi kita siang dan malam. Karena kita tidak ingin seperti dalam film Hindie itu. Yang hancur itu. Yang membuat Muntah itu !.
Berbicara tentang Polisi, saya menjadi ingat akan “asumsi pribadi“ tentang perang antar jendral. Kerena berdasar Negara yang melahirkan undang-undang oleh para politisi, maka wajar jika negeri ini lebih cocok sebagai negeri politik atau tempat eksperimen politik. Eksperimen, kata yang terlalu cocok. Karena negeri ini dari awal sampai sekarang masih menggunakan motto ala warkop Dono,kasino,indro “kita gak pernah sukses” dan selalu dalam keadaan coba-coba. Lihat saja proses meredam konflik yang dilakukan diaceh menggunakan berbagai “coba-coba” yang tidak berhasil, namun hanya menambah jumlah korban masyarakat. Berita pemerkosaan, pembunuhan dan perampokan adalah pengganti kopi dipagi hari. Kurang lebih seperti keadaan muslim Pattani Thailand saat ini. Walaupun sebenarnya kesalahan bukan (menurut saya) saja dari pemerintah Indonesia, tapi juga dari para GAM sendiri yang melakukan kaderisasi dari mulai mahasiswa hingga pencuri. Bisa dibayangkan jika pencuri atau preman memegang senjata?? Moncongnya akan tertuju ke dada siapapun. Sesuka mereka.
Perang antar jendral adalah sebuah opini yang tidak ada atau belum ada yang mencoba membeberkan kepublik dengan berani dan disertai dengan eksekusi terhadap kesalahan. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang lalu atau yang akan datang juga tidak lepas dari peran pihak-pihak pembesar dikalangan militer. Maka wajar, kalau sebahagian ahli politik memprediksi beberapa bangku yang akan diduduki benar adanya. Namun ada juga masa dimana para jendral tidak lagi akur, dan maneuver-manuverpun diciptakan. Mulai dari issu teroris dan semacamnya adalah issue yang paling cepat laku dalam perspektif iklan politis. Benar-benar para jendral dan petinggi negeri ini berguru pada Amerika. Ide “menciptakan konflik lalu meredamkan konflik demi upaya melejitkan citra dimata public” selalu dalam kepala mereka.
Alangkah khusyuknya sebahagian orang bodoh menonton sang presiden berlinang air mata dengan bibir berlepotan Lipstik color fixs, seraya berucap “dia layak dipilih tahun depan”. Padahal seperti tidak sadar, bagaimana kebutuhan pokok dan sembako dari hari kehari kian meninggi harganya. Padahal seperti tidak sadar, harga-harga kerajinan tangan masyarakat miskin seperti harga kerupuk “basi” yang dengan susuah payah dibuat, namun belum tentu bisa menukarnya dengan sebambu beras, apalagi sekarung.
Perang antar jendral adalah ironi yang terjadi. Mereka mengejar kepentingan dan menempatkan orang-orang “pro” pada posisi-posisi penting. Jangan heran jika anak jendral dengan mulus lewat tes AKABRI atau AKMIL. Lalu anak-anak kampung, walaupun menjual semua kekayaan kakek, nenek, ayahnya, tidak akan mudah lewat menjadi perwira. Kecuali sebagai Brimob rendahan yang sehariannya menjadi penjaga Bank-Bank dan beerteman dengan Satpam. Sekali-kali saya berfikir ketika mentranfer uang di Bank dan melihat Polisi berdiri disamping Satpam dengan kerja yang hamper serupa “kenapa orang tua-orang tua tidak memasukkan anaknya menjadi Satpam saja dari pada polisi yang banyak menghabiskan biaya, namun kerja tetap sama”. Saya yakin anda juga berfikiran serupa dengan saya. Kecuali anda jatuh cinta dengan polisi itu. Maka walaupun dia seorang karyawan mobil Tinja, tetapi tetap bak Presiden dimata anda. Bicara cinta memang berbicara keindahan kawan !.
Mafia sebenarnya juga bukan “nama” yang selalu cocok dengan daerah ibukota. Didaerah saya, mafia menjadi dewan perwakilan rakyat (DPR). Entah dengan cara apa dia membuat undang-undang (Qanun, Perda). Atau dengan maksud yang bagaimana dia meracik itu semua atas nama rakyat namun penuh intrik untuk dirinya. yang pasti, tidak jarang Mafia menjadi ketua dewan. Maka rapat dewan selalu akur dan damai. Bagi-bagi proyek dan berkongsi kepentingan adalah azas dan dasarnya. Diluar sana, dipasar-pasar kumuh dan becek, masyarakat mengipas-ngipas sayur atau ikan teri busuk yang sedari tadi belum laku-laku karena memang tidak meratanya distribusi uang dalam negeri. Hingga masyarakat mesti menghitung seribu kali untuk membeli lauk dan makanan.
Maka kekayaan adalah milik sebahagian orang. Yang memenangkan tender proyek akan banyak mengumpulkan rupiah, berlomba-lomba membangun istana pribadi, mengoleksi mobil keluaran terbaru dan menguasai lahan dan tanah hingga berates-ratus hektar. Jangan berharap rakyat akan mendapat bagian. Karena pengadilan punya “permainan” yang jauh lebih menarik untuk memenangkan mereka yang sanggup membeli pengacara unggulan dan ternama. Jika anda rakyat, jangan juga mengadu pada polisi dan berharap belas kasih untuk melawan pejabat negeri. Karena urusan belum selesai, bahkan baru mulai, “ongkos” lapor dan mendengar laporan pastilah kemestian sebagai pemulus. Jika anda rakyat bawahan, jangan juga mengadu pada wartawan atau media-media massa melalui wartawan atau kru-kru-nya. Karena mereka selalu dalam keadaan “menimbang” untuk mengekspos berita tentang anda yang terdesak dan sekarat. Kecuali jika anda menebalkan “Amplop” sebagai oleh-oleh ringan. Namun itu juga tidak berlaku jika yang anda adukan adalah orang-orang berdasi tinggi. Karena suara anda akan tenggelam dalam hiruk pikuk pertimbangan.
Maka melaporlah pada yang mau mendengar laporan. Pada yang paling dekat dengan anda melebihi urat leher anda. Pada yang Maha mendengar dan Maha bijaksana. Karena doa-doa adalah kekuatan kita dalam dimensi yang tidak akan dapat disadap oleh alat secanggih apapun. Ber-curhat pada pemilik semesta akan membuat anda menjadi tidak kecil. Karena presiden atau pemimpin negeri sangat terlalu “angkuh” mendengar rintihan anda, namun Allah senantiasa mendengar Rintihan dan Syukur anda. Jika pengadilan dunia abai terhadap anda, maka jangan ragu dengan pengadilan akhirat.
10 Septembe
“Yauma-idzin
tu’radhuuna laa takhfa minkum khaafiyah…”,
(Hari itu akan ditampakkkan, tanpa ada yang tersembunyi dari kalian…)
0 komentar:
Posting Komentar