Advertisements

Senin, 17 September 2012

Wisuda, antara pancaran kebahagiaan dan hari-hari muram.


“…saat wisuda adalah sehari dengan keceriaan dan setelah wisuda tanpa pekerjaan adalah hari-hari panjang yang penuh dengan muram…”


Suatu ketika saya menemani teman ke Fakultasnya. Sang teman sudah dua tahun non-aktif kuliah, namun kerena nilainya yang hampir semua istimewa ketika melanjutkan kuliah (A), maka dalam waktu dekat, dia akan KKN, Yudisium dan kemudian wisuda dengan baju toga yang dirasa istimewa. Maka sejarah kelahiran sarjana strata 1 kembali berukir dibumi. Tentu bukan yang pertama dan terakhir para sarjana lahir. Terlebih didaerah saya.

Seorang mahasiswa yang memakai Jas dengan sepatu resmi yang mengkilap melambaikan tangan. Dia sepertinya mengenal saya. Saya juga mengenalnya, tapi tidak dekat. Hubungannya teman dari teman. Dia baru saja Yudisium dan sebentar lagi akan wisuda. Hanya menunggu hari untuk kemudian mengenakan toga dan bersalaman dengan guru besar. Dia begitu ceria hari itu. Senyumnyapun terlihat berbeda. Seolah-olah beban yang selama ini berat Nampak terasa hilang. Wajahnya menggambarkan itu semua. Dia juga mengajak saya berfoto bersama, walaupun saya tidak mengerti untuk apa berfoto bersama saya yang secara status teman saya bukan teman dekatnya. Mungkin itulah kebahagiaan. Luapannya menggantikan segalanya. Membunuh semua perasaan canggung, malu dan lain sebagainya.

Wisuda. Sebuah kata-kata yang ditunggu realisasinya dari rumah yang kadang nun-jauh disana. Kata-kata “cepatlah wisuda, jangan keburu tua, buat apa lama-lama dikampus, jangan tua dikampus, dll” adalah resapan lumrah oleh telinga yang mungkin sudah menebal. Menjadi mahasiswa semi-abadi dikampus memanglah tidak bagus, namun cepat menjadi sarjana dengan beban lain dibahu, juga bukan hal yang baik. Karena saat wisuda adalah sehari dengan keceriaan dan setelah wisuda tanpa pekerjaan adalah hari-hari panjang yang penuh dengan muram. Itulah realitasnya. Jika setelah wisuda para anak petani tetap mewarisi “cangkul cap naga”, lalu apa gunanya sarjana yang hanya akan menjadi beban dan cemoohan dikampung. Akhirnya, para sarjana yang tidak beruntung kembali dengan lapang dada memasuki absen daftar para penganggur yang bernomor punggung seribu sekian. 

Dilema dan “pabrik” sarjana.

Setipa tahunnya, seribu sarjana ditelurkan oleh fakultas pertanian. Setiap tahunnya, seribu sarjana diwisudakan oleh Fakultas pertanian. Dan artinya, ada seribu sarjana pertanian yang lulus dari fakultas pertanian. Namun dari seribu sarjana pertanian, tidak ada kasus pertanian yang terentaskan. Hama, gagal panen, dan seribu masalah pertanian lainnya tetap terjadi. Lalu kemana ribuan sarjana pertanian yang diwisuda itu??.

Indonesia. Mungkin sudah puluhan ribu sarjana pertanian yang dicetak dinegeri ini, tapi apa lacur, sarjana hanya nama indah diijazah dan nama panggilan penambah panjang daftar gelar. ‘minimal, kalau kamu jadi kepala dinas, kamu harus punya sarjana”, ini kata-kata pejabat pada anaknya. “minimal, kamu harus sarjana dulu,supaya mudah kita lobi kedinas terkait” ini kata-kata calo. Dan masih banyak banyak kata-kata “motivasi” lain untuk menjadi sarjana. Dan akhirnya “mitos” sarjana selalu dipecahkan oleh realitas, betapa sarjana tanpa kualitas adalah sampah !. lihat saja, didaerah saya, seorang ketua DPRD bukan seorang sarjana. Bahkan ijazah SMA diragukan. Lihat anggota dewan lainya didaerah-daerah, sudah menjadi rahasia umum jika eksekutif  atau legislative yang menggunakan paket C atau ijazah sarjana hasil “olahan” perguruan tinggi bayangan. Namun mereka dengan mudah hidup bermewah dengan gaji mengalahkan para “bujang” yang hampir mati dirak pustaka ketika membuat makalah.

Siapa yang bersalah dengan ini semua? Bukankah jika birokrasi bermasalah dengan banyaknya pejabat menggunakan ijazah palsu, maka para sarjana Politik dan sarjana pemerintahan yang salah?. Bukankah jika banyak para sarjana pertanian yang lahir namun masalah pertanian masih beribu kasus yang belum tuntas, maka para sarjana pendidik mahasiswa pertanian yang salah?? Atau jangan-jangan para sarjana pendidik sarjana hanya menjadi penikmat gaji dan mencuri-curi waktu untuk cepat bubar ketika mengajar?. Selalu. Kesalahan diakhir selalu diawali dengan kesalahan dipertama. Jika dikampus hanya belajar dan mabuk dengan teori, maka dapat dipastikan para sarjana yang lahir adalah ahli debat. Diruang kuliah selalu berbicara ideal dalam konsep, namun dilapangan, teori selalu dengan terpaksa di injak. Beruntung, dunia saat ini dibuat terbelalak oleh seorang sarjana Ekonomi dari India yang melepas “sampah” teori yang memenuhi pundak dan turun kedesa-desa mengentaskan kemiskinan dengan mahasiswanya. Dan akhirnya dunia harus mengakui dengan memberi penghargaan atas jasanya. 

Sarjana dan Orientasi

Suatu ketika, saya ditawarkan sebuah posisi “bagus” dalam sebuah organisasi. Setelah menimbang-nimbang akhirnya saya memutuskan untuk menolak. Ketika saya ceritakan pada seorang teman peluang ini, teman saya, tanpa menunggu penjelasan, langsung meminta saya untuk menerima tawaran tersebut. “jangan menolak banyak kesempatan” ucapnya pada saya. Harus saya akui, secara finasial, posisi saya menguntungkan. Namun dilain pihak, saya hanya menjadi pekerja atas konsep dan selanjut penikmat tontonan. Jika memang oriatasi materil, maka tentu saja saya menjadi orang yang paling bodoh karena menolak tawaran ini. Sedang dia, hampir setiap tawaran dilahapnya. “politis memang harus sedikit rakus” katanya terkekeh.

Pada sebahagian orang, mendapat jabatan itu “keren”. Seperti melahap roti bakar dengan teh panas ketika lapar dimalam hujan. Seimbang dan sempurna untuk suatu waktu. Namun untuk sebahagian yang lain, jabatan dan kedudukan itu membuat gerah. Bukan karena ketidak mampuan, melainkan karena merasa akan beban yang seolah berlipat-lipat dan berat secara kejiwaan.

Begitu juga gelar sarjana dan beban itu sendiri. Bagi sebahagian sarjana muda, beban dari menjadi sarjana adalah “pengangguran”, karena jika menjadi penganggur, maka bersiap-siap mencari tempat berlindung dari hujan cemoohan. Namun sebahagian yang lain, beban menjadi sarjana adalah beban jiwa karena gelar sarjana yang tidak bisa digunakan sepantasnya. Barangkali itu yang menjadi salah satu beban pendiri gerakan ikhwanul muslimun. Seorang pendidik yang tidak mau menjadi sarjana kerdil yang berkutat dengan karir dengan tangan menegadah pada penguasa. Maka jadilah dia pendidik sejati. Hingga kita saksikan, hasil didikannya mengguncang dunia. Metode tarbiyah yang digunakannya sebagai pendidik dan tekadnya sebagai pendidik benar-benar mengentaskan “kemiskinan” karakter. Maka sang guru abad modern ini menjadi tokoh yang tak sekedar tokoh. Entah apa yang terjadi jika seadainya ada sarjana pertanian yang seperti ini.

Jika orientasi sarjana adalah pegawai negeri, maka mungkin akan didapatkan. Jika dengan ikut tes gagal, maka dengan bermain dibawah meja menggunakan Amplop, tentu akan menudahkan lulus. Seperti seorang yang ingin menjadi polisi diera ini, jika tes pertama tidak lewat dengan hanya bermodal tekad dan semangat, maka tes selanjutkan dengan menjual tanah peninggalan leluhur. Maka jadilah kebiasaan dan hal yang lumrah ‘mejadi polisi harus didorong dengan rupiah’. Jika anda kurang tinggi saat tes masuk, maka tambah tinggi anda dengan lipatan-lipatan rupiah. Jika kesehatan anda kurang baik, maka baikkan dengan rupiah. Semua menjadi mudah dan gampang. Dan anda tidak perlu repot-repot, cukup orang tua anda yang repot mencari uang.

Hari ini, ketika seorang anak kuliah untuk menjadi sarjana, orang tua biasanya menjadi donator atau yang membiayai. Dan ketika seorang anak telah lulus kuliah dan menjadi sarjana, maka kadang mencari pekerjaan untuk sang anak juga orang tua. Betapa banyak sarjana yang lulus tes PNS dengan dorongan rupiah dibawah meja. Dan rupiah dari mana lagi kalau bukan dari keringat orang tua?. Seperti biasa, selepas menjadi PNS, modal untuk lulus harus dikembalikan, minimal diperhitungkan. Jika negera sudah mengatakan ‘tidak ada makan siang gratis’, maka masyarakat bawah juga mengatakan hal serupa untuk modal yang melayang.
Kadang ada benarnya ketika sebuah opini disebuah surat kabar terbit dengan judul menarik “JANGAN SEKOLAH JIKA MAU KAYA”.
Wallahu`alam..


17 September

Disela-sela maka siang yang telat.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Catatan Pinggir Mahasiswa Kesepian All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3. Published..Blogger Templates