Wajahmu Wahai Profesor
Untuk
kesekian kalinya kupandangi wajah itu. Wajah yang hanya bisa dipandangi lewat
foto. Wajah yang mengguratkan kekhawatiran. Entah apa yang beliau khawatirkan.
Apa peluru yang menembus kulit muliamu yang membuat engkau terlihat susah? Atau
ingatanmu yang tak pernah lepas untuk ingin mendidik dan mencipta generasi yang
mengubah tanah yang paling sering berdarah ini? Diriku tak mengerti, Prof…
engkau tak mengatakan apapun padaku. Kepergianmu ketika diriku masih asyik
melempari kelereng dalam desingan peluru TNI dan GAM.

Tidak
kudapati Koran pagi dan berita-berita penting ditempatku. Hanya Koran usang yang kadang
dibawa pulang sang ayah dari kedai kopi diluar desa. Dan itupun harus ditanam
serapat mungkin ketika terjadi kontak senjata dan penyisiran mengerikan yang dilakukan
para bedebah-bedabah haus darah.
Prof.
tadi. Kutatap lagi fotomu, ketika pertemuan dengan sang Rektor baru dua
generasi setelahmu. Tapi kata-katanya sama sekali tidak membekas dikepalaku
ketika fotomu yang gelisah membuatku mencari arti dari semua gurat wajahmu itu.
Ketika
peluru menembus kulitmu. Ketika timah itu mengoyak dagingmu. Ketika darahmu
melompat deras keluar. Mungkin gelisahmu lebih dulu dari pada gelisahnya diriku
mengingat peristiwa penghabisan umurmu.
Engkau
Prof.DR.Dayan dawoed. MA. Guru
besar, yang ceritamu minim kudapati
di rak pustaka perguruan tinggi yang kau
pimpin ini…
Banda
Aceh, 10 March 2011.
Dhuha
dikota mahasiswa.
0 komentar:
Posting Komentar