Advertisements

Senin, 17 September 2012

Kado (kata) nikah dari adek angkatan


Beberapa bulan setelah penyakit yang saya derita berkurang, saya akhirnya bisa menikamti lagi suasana kampus. Baik kampus penuh “kenangan” IAIN Ar-raniry ataupun kampus “harapan” Universitas Syiah kuala. Kampus-Kenangan-karena merupakan kampus pertama dan menyimpan banyak pernik aroma aktivitas ketika disana. Sedang kampus-Harapan-merupakan kampus kedua yang saya niatkan untuk lebih focus untuk kuliah, walaupun akhirnya lagi-lagi saya menjadi mahasiswa yang tidak pernah se-iya dan se-kata dengan Dosen. Maka wajar setiap kali nilai saya yang keluar, nilai-nilai saya tersenyum dengan bangga mengisi KHS dengan angka yang berada dibawah rata-rata. Seorang teman pernah berkata pada saya “jangan melawan teori dosen dan membuat teori sendiri andika…”, atau “tempuhlah cara dengan sedikit lebih soft andika…”. Namun saya selalu setengah tertawa menanggapi kata-kata seperti ini. Karena memang secara pribadi saya menganggap nilai di KHS bukan prioritas saya kuliah.

Memenuhi undangan acara di Auditorium dengan alumni dan lain-lain menjumpakan saya dengan orang-orang yang saya merindu akan mereka dan mereka juga mengatakan hal yang sama pada saya. Salah satu diantara mereka adalah adek angkatan dikampus. Saat itu dia baru saja beberapa minggu menikah dengan salah seorang yang dia puji didepan saya ketika itu. Gadis pasangan hidupnya berasal dari suku daerah aceh bagian yang paling dingin (dataran tinggi aceh tengah). Seperti biasa, daerah dingin biasanya selalu menyimpan wanita “putih”. Mungkin itu salah satu daya tariknya. Namun tentu saja ada kelebihan lain yang membuat dia memilih menikah diusia yang muda seperti ini.

“luar biasa bang. Daerah yang dingin dan aku menemukan cinta disana. Dia selalu terbangun lebih awal dan membangunkanku dengan kata-kata ‘abi, sholat tahajjud yuk…’ saya tidak bisa menggambarkannya lebih jauh bang’,” begitu kata-katanya sambil terkekeh-kekeh ketika saya menanyakan kabar pernikahannya yang dulu saya anggap tidak serius.

“abang serasa mual dan mau muntah. Dek” ucap saya menanggapinya ceritanya sambil tersenyum dan disambut tawanya yang membuat beberapa alumni melirik kearah kami.

Terus terang saya sedikit agak beda mendengarkan kata-kata abi untuk pemuda yang berada dibawah umur saya. Seolah-olah saya menyaksikan langsung “panggilan” itu seperti melihat bang Rhoma mengatakan “Anhi (padahal kata sebenarnya ani, namun Rhoma terlalu berlebihan menggunakan huruf ‘H’, dasar Bang Rhoma.. :D )”. Mungkin memang karena saya tidak dan memang belum membayangkan akan ada suasana seperti itu dalam hidup saya dimasa mendatang. Menjadi sosok orang tua yang dipanggil Abi atau Ayah.

Tidak..!!!, saya benar-benar serasa mual ketika menulis tulisan ini.!

Sebagai refleksi dalam setiap perjalanan kehidupan, saya selalu berusaha bercermin atas setiap peristiwa yang terjadi. Mendengar kata “Abi” seolah-olah elergi adalah salah satu kesalahan bagi saya pribadi. Sepertinya kata-kata semacam itu membosankan dan terasa ‘neg dan (maaf) jijik’. Padahal jika kita mau jujur, hanya orang-orang khusus yang banyak menggunakan kata-kata panggilan ‘Abi’. Terus terang  saya hanya melihat orang yang menjaga Sholat dan taat yang menggunakan kata ini.

Alangkah tidak tepatnya perasaan saya terhadap kata-kata ini. Dan saya mendapati banyak orang (selain saya) yang juga tidak suka dan merasa “anti” dengan panggilan-panggilan seperti ini. Ummi, Abi, Ama, Ami, Anta, Anti, Akhi, Ukhti. Kata-kata yang jika dipahami sebenarnya lebih bagus dari kata-kata yang kita gunakan sekarang. Namun kata-kata “Bokap, Nyokab, Bonyok, Mom, Dad, dll jauh lebih digemari untuk digunakan. Heran. Saya heran kawan !, juga terhadap diri dan juga terhadap orang yang tidak suka dengan kata-kata ini.

Beginilah suasana perasaan dan jiwa kita sekarang. Agak “neg” mendengar kata-kata Abi, namun terbiasa dengan kata-kata “sayang, Dear, Honey, Papah (harusnya tidak pakai ‘H’, tapi anak sekarang masih ikut ala bang Rhoma), dll.

Pelan-pelan, ketika saya menulis ini, saya menjadi kian mengerti dan mencoba memahami diri. Bahwa kata-kata baik yang tidak popular dan tidak mau dipakai para peng-kiblat Barat, sebenarnya sangat baik. Dan cerita adek angkatan saya tentang “rumah” barunya tadi membuat saya berfikir ketika acara itu selesai. Berfikir tentang “rumah” dan kata-kata itu. Namun angka 28 sudah saya tancap agak kuat. Saya belum berniat menggunakan titik untuk umur sekarang ini.

“kerja masih panjang, dan kaulah yang melanjutkannya” ucap Chairil anwar menuntun saya untuk melepas magrib dimesjid terdekat. Senja memang terlalu cepat dari pagi yang baru saya rasa sebentar tadi. Mungkin juga maut begitu. Datang dengan cepat menyergap kita. Dan angka 28 juga akan berlaku serupa.


keceriaan yang "halal" dibening mata mereka berdua. selamat wahai pemuda !!



9 September, 
“Adzahabtum thayyibaatikum fi hayaati duniaa…”, Apakah kalian telah sia-siakan kebaikan-kebaikan yang kalian peroleh saat hidup didunia??

1 komentar:

Copyright © Catatan Pinggir Mahasiswa Kesepian All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3. Published..Blogger Templates