Advertisements

New Post

Rss

Jumat, 12 April 2013
Sekilas tentang HAM, Positif dan Negatifnya (Coret-coret siang dikamar)

Sekilas tentang HAM, Positif dan Negatifnya (Coret-coret siang dikamar)


Pada 10 Desember 1948 Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan deklarasi internasional tentang hak-hak asasi manusia. Sebagai hasil perjuangan panjang umat manusia yang dituangkan dalam undang-undang tentang hak-hak asasi manusia untuk menghadapi ketidak adilan dan penindasan dari kekuatan dunia tertentu[1]. Dalam sejarah, HAM awal-awal dikenal dengan istilah Natural Right yang berarti hak-hak alam[2]

Dalam beberapa Versi bahkan sebelum ada istilah Natural Right, sudah ada yang namanya teori kontrak social dan kemudian popular dengan sebutan Natural Laws.[3] Walaupun teori Natural Laws sendiri diawal-awal hanya untuk mengatur pola hubungan dan hak antara Raja dan Rakyat. Teori Natural Laws tidak lain dan tidak bukan merupakan akibat dari pentahbisan diri para raja seperti Ratu Elizabet dan pangeran Ferdinand di Spanyol yang terjadi diantara tahun 1500-1700-an. Doktrin pentahbisan ini dikarenakan konsep Hak-hak suci para Raja-Raja (Devine Right Of King)[4]. Oleh sebab itu, timbulnya Reaksi Natural Laws yang kemudian menjadi titik banding atau bagian dari Reaksi keadilan yang menuntut, seandainya Raja punya Hak, maka Rakyatpun juga mempunyai hak.

            Mengacu pada Teori Natural Right atau Natural Laws yang menjadi pemicu pencarian Hak-hak dalam masyarakat Barat, sesungguhnya kedua teori ini disebabkan karena jasa pemikir seperti John Locke dengan teori Hak-hak sosial seperti hak hidup, hak atas kebebasan dan hak atas kepemilikan. Selanjutnya oleh para ilmuan politik, ketiga hak ini menjadi salah satu landasan dari pada Demokrasi[5].  Dan pada Abad ke 19, Gagasan tentang demokrasi pun semakin mendapat tempat yang berarti. Pada masa itu,demokrasi lebih menitik beratkan pada persoalan kemerdekaan individu, persamaan hak (Equel Right) serta hak pilih untuk seluruh lapisan warga Negara (universal suffreage)[6].

            Jika kita membahas masalah akar dari HAM itu sendiri, maka kita harus menyelami sampai keperadaban dan kebudayaan paling awal di barat. Karena komposisi peradaban barat itu sendiri terdiri dari pada unsur-unsur budaya , filsafat, nilai-nilai aspirasi dari Yunani dan Romawi kuno dan lainnya. Sampai pada pembentukan oleh bangsa Latin, Jermik, Keltik dan Nordik[7].

             Dalam Perkembangannya HAM yang pada mulanya merupakan bagian dari cita-cita pembebasan kemudian berubah Fungsi seperti pisau bermata dua. Pada satu sisi HAM digunakan dalam rangka alasan keadilan dan menjunjung tinggi kemanusiaan, pada sisi lain HAM justru digunakan sebagai Mesin Imperealisme Modern yang jika ditinjau dari sudut Post-modernisme, HAM merupakan turunan dari pada imperealisme itu sendiri. Sebagai contoh, HAM di sisi positifnya bisa digunakan dalam pembelaan terhadap hak-hak yang tertindas dan dirampas haknya. Namun walupun begitu, pengertian dan tindak lanjut dari pada HAM bagi kalangan tertentu harus mendapat restu dari pembuat mesin bernama HAM[8]

            Perlu ditinjau kembali Fungsi HAM dan wewenang HAM yang sesungguhnya dikarenakan HAM hanya sekedar Term dan kata untuk melenakan bangsa Timur yang dibayangi dengan keadilan namun keadilan selalu “jauh panggang dari pada api”. Bangsa Palestina yang jika dalam tinjauan sejarah sebelum perang Dunia ke II merupakan Bangsa merdeka yang bernaung dibawah kekhilafahan Turki Utsmani kini menjadi Bangsa yang tidak merdeka dan di bantai oleh Israel dengan Restu Amerika setiap Hari[9]. Atau Warga Muslim Uighur Xinjiang yang selalu menjadi kambing hitam pemerintah Cina dan dibantai tanpa ada Mahkamah dan keadilan. Muslim Afghanistan, Pakistan, Kashmir, Bangladesh, Rohingya, Somalia, Bosnia dan Negara-Negara lainnya dibantai dan di-Genosida tanpa ampun juga tanpa pernah ada pembelaan atas nama HAM oleh negara-negara ketiga sebagai promotor HAM.

            HAM pada satu sisi adalah dilema bagi kemanusiaan karena menjadi mesin untuk mengintervensi. Sebagai contoh, AS melakukan penyerbuan terhadap Irak karena alasan minoritas suku Kurdi dan syiah yang teraniaya dan senjata pemusnah massal oleh pemerintah Saddam Husein. Namun ternyata ini hanya menjadi alat untuk mendapatkan hasil alam di Negara tersebut karena konsumsi minyak di Amerika yang sangat banyak. Hampir semua issue HAM di manfaatkan untuk mengintervensi kasus-kasus politik dan issue Ekonomi.

            Pada Era Soeharto, AS tidak pernah mempermasalahkan pembantaian yang dilakukan oleh TNI di Timor Leste, karena Freeport papua menjadi miliknya. Begitu juga Kasus penganiayaan atas nama Terorisme yang pada ujung-ujungnya untuk memenangkan Blok Cepu atas perusahaan Multi-Nasional Amerika. Jika HAM barangkali dalam Tujuan tertulisnya ada yang positif, namun realisasinya justru tidak seperti itu. Oleh karenanya, Buya Hamka bahkan menolak Duham itu sendiri karena dalam beberapa poin bertentangan dengan Prinsip islam. Penghargaan atas kearifan local dengan begitu saja di “babat” habis atas nama HAM. HAM benar-benar menjadi salah satu mesin imprealisme modern yang begitu ampuh.

            Oleh sebab itu, sejumlah ilmuan dan tokoh agamawan islam denga tegas menolak HAM dalam perspektif barat yang pada kenyataannya justru melahirkan pelanggaran-pelanggaran yang jauh lebih besar. Pluralism agama atau sekulerisme dan liberalism juga merupakn alat dan turunan dari Post-Modernisme (sejalan dengan prinsip HAM barat) guna menciptakan sebuah tatanan dunia baru dalam satu Kultur. Sehingga bukan saja membunuh Umat manusia, namun juga membunuh Agama dan Tuhan[10]

            Jika kita membahas tentang HAM dari sudut positif dan Negatifnya, niscaya kita akan menemukan banyak sekali sisi Negatif dari HAM yang merupakan produk barat ini. Hanya saja, mempelajari dan mendalami HAM juga merupakan sesuatu yang penting dan Positif untuk kemudian digunakan dalam hal membela Islam dan Kearifan Lokal dan pada sisi lain digunakan untuk mencari kelemahan Produk barat ini. Wallahu`alam…


[1] Dr.Muhammad Imarah “Perang terminology islam versus barat”, hal 127.
[2] Irfan, S.H., M.H. Meteri kuliah “Hak asasi manusia dan perubahan sosial” hal,1.
[3] Penulis melihat ada hubungan keduanya. Karena dalam teori John locke sendiri ada tiga pilar yang menjadi acuan teori Natural Law.
[4] Khoiruddin “partai politik dan agenda transisi demokrasi”, hal.21-22.
[5] Kontribusi para filosof dan pemikir seperti John Locke inilah yang kemudian melahirkan zaman pencerahan yang sebelumnya merupakan zaman kegelapan. Penulis melihat, John Locke sendiri banyak pemikirannya terilhami dari beberapa pemikir sebelumnya yang ingin melakukan pembebasan dari ikatan dan Doktrin kerajaan bahkan Doktrin Agama.
[6] Ibid.
[7] Adian Husaini “Muslimlah dari pada Liberal”, hal.16
[8] Penulis memaksudnya HAM sebagai sebuah tinjauan murni yang sedang dipasarkan oleh Amerikan dan Negara-Negara Barat atau Negara ketiga lainnya.
[9] John L.Esposito “Unholy War-teror atas nama Islam”.
[10]  Kerena dalam beberapa prinsip kebebasan itu di wariskan oleh Filosof seperti Nietzsche yang dengan akalnya mencoba membunuh tuhan. Dalam beberapa tulisannya dia dengan lantang menulis “Tuhan sudahb mati dan manusialah yang membunuh tuhan dengan akalnya (Rasional)”. (Hamid Fahmi Zarkasyi “Misykat”)
Jumat, 28 September 2012
Logika Pemerintah dan Mimpi pendidikan kita

Logika Pemerintah dan Mimpi pendidikan kita


Entah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sadar atau tidak, setelah Motto “pendidikan berbasis moral” diluncurkan, sekarang publik Indonesia terutama pelajar diseduhi dengan tontonan amoral pelajar (Baca: Tawuran). Tercatat sepanjang 2012, telah terjadi perkelahian pelajar sebanyak sebelas kali dan mengakibatkan korban berjatuhan antar pelajar (Kompas.com, 28-09-2012). Agaknya niat baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui berbagai program yang dirasa menggingit mengalami berbagai cabaran.
Seperti untuk menutupi beberapa lubang, belum tuntas kasus tawuran (baik yang diekpos oleh media ataupun tidak), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali mengulirkan satu angin segar lagi buat pelajar khususnya mahasiswa. Wacana Standarisasi Biaya kuliah mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mulai tahun ajaran 2013/2014. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan plafon maksimal sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang boleh dipungut pada mahasiswa. Mentri Pendidikan, Mohammad Nuh bahkan mengatakan bahwa sekarang banyak komponen biaya yang dipungut dari mahasiswa, Keluhan biaya kuliah yang tinggi. Mengutip UU Pendidikan Tinggi, Nuh mengatakan biaya kuliah haruslah terjangkau. Untuk itu, satuan biaya pendidikan di PTN akan diatur dan  Standar pembiayaan tersebut ditargetkan selesai pada Februari 2013. Namun walaupun begitu, Nuh belum bersedia menyebutkan plafon tertinggi yang ditetapkan pemerintah (Kompas.com). 
Wacana Standarisasi biaya kuliah mulai tahun ajaran baru 2013/2014 tentu oleh kalangan masyarakat dan pelajar terutama yang kurang mampu merupakan harapan dan angin segar untuk sementara waktu, kerena memang belum ada penetapan diangka berapa standarisasi itu berhenti. Namun walaupun begitu, biaya pendidikan tetaplah akan menjerat kalangan bawah. Pasalnya, penyatuan beberapa nama iuran pendidikan seperti satuan kredit semester, sumbangan pendidikan dan lain-lain akan disatukan dengan SPP. Artinya, jikapun ada pengurangan, itu hanya sedikit. Bahkan lebih cocok jika dinamakan pengurangan “tempat pembayaran” dan “bayar sekalian di SPP”. Intinya, jika dulu mahasiswa dicekik beberapa kali dipersimpangan yang bernama ‘satuan kredit semester, sumbangan pendidikan dan lain-lain’ maka kedepan akan dicekik sekali saja, yaitu disatu simpang bernama “pembayaran SPP”.
Cukup adil jika sekiranya pemerintah bisa berwacana dan masyarakat bisa mengimbangi dengan wacana juga. Sudah menjadi rahasia umum, bagi bangsa yang ingin maju dan unggul dalam persaingan global, pendidikan merupakan kunci utamanya. Pendidikan adalah tugas negara yang paling penting dan sangat strategis. daya manusia yang berkualitas merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang baik. Sebaliknya daya manusia yang buruk, akan secara pasti melahirkan masyarakat yang buruk pula. Pemerintah selalu berkelit dengan kata-kata bahwa “pendidikan bermutu itu mahal” Kalimat ini yang sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat agar anaknya dapat menikmati pendidikan. Padahal siapapun tau jika dalam UUD dengan lengkap tertulis “ Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. 
Wajah pendidikan kita 
Kementerian Pendidikan Nasional sendiri seperti dikutip dalam Kompas.com (25 Juli 2011), mengaku kesulitan menekan jumlah siswa miskin di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas Nono Adya Supriatno mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta jiwa. 
Sebagai refleksi, Jika berkaca pada kenaikan anggaran pendidikan secara signifikan sejak 2005 ternyata tak membuat biaya pendidikan menurun. Dalam APBN-P 2010, pemerintah menaikkan anggaran pendidikan Rp 11,9 triliun dari Rp 209,5 triliun menjadi Rp 221,4 triliun, tetapi biaya pendidikan terus meningkat, akibat belanja pendidikan yang tidak tepat sasaran dan lain sebagainya. Kenaikan tersebut merupakan amanat UUD 1945, yang mensyaratkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Ironisnya lagi, kualitas pendidikan juga belum beranjak naik.
Berdasarkan data BPS, kenaikan biaya pendidikan pada Juli 2009 dibanding tahun 2000 mencapai 227 persen. Pada 2000, indeks harga biaya pendidikan berada di level 100, sedangkan pada 2009 mencapai 327. Kenaikan itu berada jauh di atas kenaikan harga secara umum yang mencapai 115 persen dan kenaikan harga pangan sebesar 122 persen. Sesuai inflasi, biaya pendidikan dari tahun ke tahun juga terus merangkak naik. Perencana Keuangan atau Financial Planner, Aidil Akbar (Sindo, 2 Mei 2011) menjelaskan, inflasi yang merupakan kenaikan harga secara umum dan berkaitan dengan mekanisme pasar turut memengaruhi bidang pendidikan terutama dalam pembiayaan. Dia mengatakan, inflasi di Indonesia dalam waktu 10 tahun terakhir berkisar 12–15%. Sementara kenaikan biaya pendidikan setiap tahunnya mencapai 20%. Hal ini berarti kenaikan biaya pendidikan lebih tinggi daripada inflasi setiap tahunnya. Oleh sebab itu, wacana penyatuan iuaran pendidikan perguruan tinggi melalui pembayaran disatu simpang bernama SPP juga tidak dapat diharapkan dapat merubah wajah pendidikan kita. Walaupun sekedar diperguruan tinggi. 
Pemerintah akhir-akhir ini 
Pidato SBY digedung PBB baru-baru ini ditanggapi dengan beragam. Bahkan ada yang menggapi supaya SBY menjadi Sekjed PBB periode depan. Dilain pihak dalam negeri, pemerintah belum mampu mensejahterakan Nasional terburu untuk diangkat kedunia luar. Meningkatnya kasus berburu teroris yang dalam kamus pengamat ada yang menilai fiktif dan “membuat fakta” juga serasa menjiplak logika Huntington ketika mem-Besseler-kan “The Clash of civilizations-nya”. Atau  Benar-benar penyakit mempopulerkan diri semakin akut dizaman yang serba modern ini.
Belum lagi pro-kontra terkait Putusan MK yang dinilai mempermudah Pemeriksaan Kasus Korupsi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan kepala daerah yang terlibat pidana umum termasuk korupsi boleh ditindak oleh polisi atau jaksa tanpa izin presiden dinilai oleh sebahagian pengamat “menjadikan seorang kepala daerah menjadi 'ATM berjalan' bagi aparat penegak hokum”. Jika ‘ATM berjalan’ benar-benar terjadi terus-menerus didaerah-daerah, maka jangan pernah bermimpi dunia pendidikan kita dan lainnya akan baik-baik saja. Wallahu`alam bisshawab…



28 september 2012
Prada, disela-sela "berbicang dengan Nunisme... :D

Senin, 17 September 2012
Negeri Mafia 2

Negeri Mafia 2

Siapa yang menyukai politik? Kita bisa lihat ditiap profile jejaring social fecebook. Kebanyakan menyatakan ‘tidak untuk politik atau politik itu jahat’. Adakah demikian? Nampaknya yang berfikiran demikian hanya orang-orang yang ditipu oleh mafia politik. Maka janganlah terlalu bersenang hati hidup dinegeri mafia namun mencoba berlembut hati tapi kecil rasa peduli.

Maka yang mengatakan demikian sebenarnya terdiri dari beberapa asumsi. Pertama dia tidak tau makna politik dari berbagai macam pandangan dan yang kedua, dia menjadi korban politik (kecewa) dan terus begitu selanjutnya hingga nyawa melewati kerongkongan.

Seperti orang yang mengatakan pemain bola itu bodoh. Setelah ditendang, bolanya dikejar lagi. Begitu seterusnya. Bukankah itu mencari kelelahan?. Sayangnya mereka tidak berfikir, Nun disana, dilubuk hati para manusia yang bercita-cita memakmurkan bumi dengan Al-Quran, politik menjadi sebuah kata pengganti “uluran tangan” atau “bantuan”.

Maka sebagai contoh Umar bin Khattap memanggul gandum dimalam sunyi yang pekat untuk masyarakatnya yang miskin selalu indah tertulis dalam sejarah. Atau seperti Salahuddin Al-Ayyubi yang berbuat adil walau terhadap Kafir dalam perang yang dahsyat. Mereka yang kafir saja terpesona dengan tata cara, siayasah atau politiknya manusia-manusia mulia. Lalu kenapa anak negeri menjadi anti berpolitik?.

Barangkali actor politik kita memang menipu dari awal karir hingga ia mati. Maka masyarakat elergi dan muak memahami apa lagi mempelajari tentang politik. Lewat system yang bernama demokrasi, semua pengamat mengatakan ‘harus demokrastis,masyarakta tercerdasakan, demokrasi harus ditegakkan’. Padahal banyak sisi yang pincang dalam system ‘nakal’ ini. Jika demokrasi terus diiberi applause, maka media semakin menjadi-jadi mengolah bahasa politik yang memantik api, kandidat dengan lihainya membagikan uang pada pesta demokrasi dan president begitu simpatik mengemis untuk dipilih kembali. Siapa yang diuntungkan disini? Masyarkat yang hanya dapat 20 ribu tiap menyoblos 5 tahun sekali? Padahal jatah masyarakat dari pajak dan APBN milyaran masuk kekantong-kantong besar mereka yang diparlemen, eksekutif dan legislative.

Pemilu 1955 dianggap paling bersih. Mungkin saya juga akan menjawab ‘benar’. Namun jika ditanya kenapa, saya akan menjawab, karena belum ada media dan demokrasi belum sepenuhnya diadopsi. Maka jadinya bersih. Sedang sekarang jangan berharap lagi akan seperti 1955. Bukan berarti saya anti dengan media. Tapi anda tau sendiri media sekarang, promosi ‘Sanyo’ atau ‘pompa air’ kenapa mesti wanita seksi dengan laki-laki sedang merayu yang ditampilkan? Apa hubungan jika tidak dengan sengaja dihubung-hubungkan. Persis seperti teroris yang sebenarnya tidak popular namun dalam waktu singkat menjadi ‘masyhur’ sampai tingkat anak SD. Atau seperti Polisi yang sedang bertugas diundang kestasiun televise untuk berjoget pinggul dengan artis seksi.

Memanglah media menggarap yang bukan haknya. Padahal didaerah saya, ratusan rumah penduduk miskin yang tidak layak huni masih ada, tapi dikoran dan berita, jauh lebih banyak iklan ‘pejabat’ yang sedang meresmikan gedung baru atau pamer keberhasilan. Kalaupun ada berita tentang orang miskin, itupun dikolom yang hamper tidak berbaca. Biasanya dengan alasan ilmiyah seperti ‘skala prioritas’.

Memang. Dinegeri Mafi, semuanya menjadi mungkin walau harus merampas hak, menginjak norma dan mencakar-cakar agama. Issue meliberalkan (melecehkan) agama dikatakan HAM dan hak setiap individu, sedangkan Issue menegakkan agama dianggap teroris. Siapa yang mendekte ini semua jika bukan Mafia? Mulai dari Mafia Birokrasi, mulai dari eksekutif, legislative sampai peradilan sekalipun. Benar-benar tidak ada makan siang gratis dinegeri ini. Selapar apapun.



Ujung desa, cotyang
11 September 2012,

“disetiap  Negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat islam kepada aqidah-aqidah sebelum islam, tetapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih islam atau peradaban-peradabn lama tersebut” (Orientalis-T.Ceyler Young)
Copyright © Catatan Pinggir Mahasiswa Kesepian All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3. Published..Blogger Templates