Advertisements

Selasa, 24 April 2012

Pilkada, Pil pahit untuk rakyat.??



          Awal mengajukan diri sebagai calon dalam pertarungan Pilkada, setiap calon tentu saja punya motivasi plus keyakinan yang tinggi untuk menang. Ini jika berbicara diluar kontec model “calon pemecah suara”, atau dalam bahasa keudee kuphie “calon jak intat lintoe”. Sehingga ketika musim kampanye dibulan-bulan yang lalu, semua kandidat seolah berjingkrak ketika kampanye dan kehabisan suara dalam berteriak “Hidup Fulan”. Guna Timses pada masa itu bukan hanya sekedar para pengumpul dan penjaring suara, namun lebih pada Motivator dan propaganda bagi calon itu sendiri.
            Lihat saja bagaimana setiap Timses punya beragam orientasi. Mulai dari Orientasi pra-kemenangan dan Orientasi paska kemenangan. Sebelum kemenangan, ada Timses yang dimasukkan katagori “uleu”. Timses jenis ini masuk kedalam katagori pemakan dari dalam. Belum jelas kemengan didepan mata, namun dia sudah bermain dibelakang mata. Oleh sebab itu, diakibatkan oleh beragam dinamika dalam pilkada, maka sebuah keniscayaan bagi setiap kandidat baik yang menang ataupun yang tidak menang akan tetap mendapat tuntutan. Hanya saja ragam tuntutan yang agak berbeda.
            Berbicara bagi kandidat yang menang, tuntutannya pasti sudah jelas. Antara merealisai Visi dan misi dan memakmurkan Timses atau merealisasikan tuntutan kedua-duanya. Sedangkan bagi kandidat yang kalah juga tidak sepi dari tuntutan. Mulai dari tuntutan ekonomi yang digilas mesin kampanye hingga tuntutan emosi untuk menuntut ulang pilkada. Penulis melihat cerita tentang pilkada belum berakhir damai walaupun tulisan dibaliho atau spanduk besar bertuliskan pilkada damai. Ini barangkali hanya cerita usang sebelum pilkada. Karena bagaimanapun bentuknya, tuntutan dalam setiap konsekuensi turun lapangan menjadi actor dalam pilkada haruslah ada. Sehingga sulutan-sulutan ragam bentuk protes menjadi tontonan public aceh.
            Ada kata-kata popular yang kurang lebih berbunyi “dari Aceh untuk Indonesia”. Kata-kata ini barangkali diawali oleh history panjang dari masa kemasa dimana aceh selalu menjadi yang utama dalam setiap model, jasa dan contoh bagi Indonesia. Jika isu syariat islam begitu kuat berawal dari aceh kemudian menjadi pemantik bagi daerah-daerah lain di Indonesia dalam meminta hal serupa dari pemerintah pusat, isu dan dinamika pilkada barang kali juga akan berakhir sama jika kita mau memutih dan membeningkan proses pilkada. Artinya, model pilkada yang demokratis dan damai dari awal sampai akhir-walau juga penuh seru-bisa dilakukan bersama-sama. Dan itu harus diracik dengan baik sebelum masa perang kampanye berlangsung. Kata-kata “pilkada damai” harusnya diawali dengan kata “tidak ada pilkada jika tidak damai”. Hanya saja napsu menguasai dan memakmurkan diri sedikit lebih diperkecil volume nya.
            Dikarenakan masa pilkada sudah memasuki fase kedua. Penulis melihat sebuah kejanggalan formalistik terhadap berbagai kasus yang terjadi saat pilkada berlangsung. Sebagai contoh politik uang dan politik kekerasan (intimidasi) yang sudah menjadi rahasia umum bagi punblik aceh. Dan kita tidak bisa menafikan hal ini. Lalu apakah ketika fase pertama dilewatkan dengan tontonan tersebut lalu fase kedua yang dengan cerita yang sama?. Jika diawal pilkada banyak pengamat yang memberi masukan dan saran untuk pilkada bersih namun hasilnya adalah wajah tanpa beban bagi pelaku kejahatan demokrasi, lalu untuk apalah kita menghambur biaya demi sekedar formalitas menjaring pemimpin dalam siklus lima tahunan ini?. Jangan-jangan tren fase pertama mejadi akan lebih popular lagi dipuran kedua nanti.
            Ketika putaran kedua pilkada telah didepan mata dan pelan-pelan sejarah putaran pertama sedikit demi sedikit terlupa, sejatinya kita akan hilang semangat dalam berbangga bahwa aceh menjadi contoh dan tauladan dalam banyak hal untuk negeri Indonesia. Termasuk dalam hal memilih pemimpin. Maka jadilah pilkada berubah menjadi pil pahit. yang pahit untuk sekedar menjadi bicangan bibir. Apalagi untuk ditelan. Maka pemimpin seperti kata salah satu mahasiswa semester rendahan dalam sebuah acara diskusi “bukan menjadi penawar bagi problem social” namun menjadi penyakit bagi sebuah Negeri. Wallahu`alam.


Dhuha…
Simpang Peut, Nagan Raya.
Sambil berbincang dengan Ayah ditoko (orang bijak dalam hidupku)
“apakah kita akan melanjutkan beternak lele Yah??” ( hehehe…lain yang dibahasa, lain yang tertulis. Kadang lele jauh lebih menarik dari pada pilkada, namun sayang lele banyak yang mati saat percobaan beternak L )

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Catatan Pinggir Mahasiswa Kesepian All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3. Published..Blogger Templates