Pilkada, Pil pahit untuk rakyat.??
Awal mengajukan diri sebagai calon dalam pertarungan
Pilkada, setiap calon tentu saja punya motivasi plus keyakinan yang tinggi
untuk menang. Ini jika berbicara diluar kontec model “calon pemecah suara”,
atau dalam bahasa keudee kuphie “calon
jak intat lintoe”. Sehingga ketika musim kampanye dibulan-bulan yang lalu,
semua kandidat seolah berjingkrak ketika kampanye dan kehabisan suara dalam
berteriak “Hidup Fulan”. Guna Timses
pada masa itu bukan hanya sekedar para pengumpul dan penjaring suara, namun
lebih pada Motivator dan propaganda bagi calon itu sendiri.
Lihat
saja bagaimana setiap Timses punya beragam orientasi. Mulai dari Orientasi
pra-kemenangan dan Orientasi paska kemenangan. Sebelum kemenangan, ada Timses
yang dimasukkan katagori “uleu”.
Timses jenis ini masuk kedalam katagori pemakan dari dalam. Belum jelas
kemengan didepan mata, namun dia sudah bermain dibelakang mata. Oleh sebab itu,
diakibatkan oleh beragam dinamika dalam pilkada, maka sebuah keniscayaan bagi setiap
kandidat baik yang menang ataupun yang tidak menang akan tetap mendapat
tuntutan. Hanya saja ragam tuntutan yang agak berbeda.
Berbicara
bagi kandidat yang menang, tuntutannya pasti sudah jelas. Antara merealisai
Visi dan misi dan memakmurkan Timses atau merealisasikan tuntutan kedua-duanya.
Sedangkan bagi kandidat yang kalah juga tidak sepi dari tuntutan. Mulai dari
tuntutan ekonomi yang digilas mesin kampanye hingga tuntutan emosi untuk
menuntut ulang pilkada. Penulis melihat cerita tentang pilkada belum berakhir
damai walaupun tulisan dibaliho atau spanduk besar bertuliskan pilkada damai.
Ini barangkali hanya cerita usang sebelum pilkada. Karena bagaimanapun
bentuknya, tuntutan dalam setiap konsekuensi turun lapangan menjadi actor dalam
pilkada haruslah ada. Sehingga sulutan-sulutan ragam bentuk protes menjadi
tontonan public aceh.
Ada
kata-kata popular yang kurang lebih berbunyi “dari Aceh untuk Indonesia”. Kata-kata ini barangkali diawali oleh
history panjang dari masa kemasa dimana aceh selalu menjadi yang utama dalam
setiap model, jasa dan contoh bagi Indonesia. Jika isu syariat islam begitu
kuat berawal dari aceh kemudian menjadi pemantik bagi daerah-daerah lain di
Indonesia dalam meminta hal serupa dari pemerintah pusat, isu dan dinamika pilkada
barang kali juga akan berakhir sama jika kita mau memutih dan membeningkan
proses pilkada. Artinya, model pilkada yang demokratis dan damai dari awal
sampai akhir-walau juga penuh seru-bisa dilakukan bersama-sama. Dan itu harus
diracik dengan baik sebelum masa perang kampanye berlangsung. Kata-kata
“pilkada damai” harusnya diawali dengan kata “tidak ada pilkada jika tidak
damai”. Hanya saja napsu menguasai dan memakmurkan diri sedikit lebih
diperkecil volume nya.
Dikarenakan
masa pilkada sudah memasuki fase kedua. Penulis melihat sebuah kejanggalan
formalistik terhadap berbagai kasus yang terjadi saat pilkada berlangsung.
Sebagai contoh politik uang dan politik kekerasan (intimidasi) yang sudah
menjadi rahasia umum bagi punblik aceh. Dan kita tidak bisa menafikan hal ini.
Lalu apakah ketika fase pertama dilewatkan dengan tontonan tersebut lalu fase
kedua yang dengan cerita yang sama?. Jika diawal pilkada banyak pengamat yang
memberi masukan dan saran untuk pilkada bersih namun hasilnya adalah wajah
tanpa beban bagi pelaku kejahatan demokrasi, lalu untuk apalah kita menghambur
biaya demi sekedar formalitas menjaring pemimpin dalam siklus lima tahunan
ini?. Jangan-jangan tren fase pertama mejadi akan lebih popular lagi dipuran
kedua nanti.
Ketika
putaran kedua pilkada telah didepan mata dan pelan-pelan sejarah putaran
pertama sedikit demi sedikit terlupa, sejatinya kita akan hilang semangat dalam
berbangga bahwa aceh menjadi contoh dan tauladan dalam banyak hal untuk negeri
Indonesia. Termasuk dalam hal memilih pemimpin. Maka jadilah pilkada berubah
menjadi pil pahit. yang pahit untuk sekedar menjadi bicangan bibir. Apalagi
untuk ditelan. Maka pemimpin seperti kata salah satu mahasiswa semester rendahan
dalam sebuah acara diskusi “bukan menjadi penawar bagi problem social”
namun menjadi penyakit bagi sebuah Negeri. Wallahu`alam.
Dhuha…
Simpang Peut, Nagan Raya.
Sambil berbincang dengan Ayah ditoko (orang bijak dalam hidupku)
“apakah kita
akan melanjutkan beternak lele Yah??” ( hehehe…lain yang dibahasa, lain yang
tertulis. Kadang lele jauh lebih menarik dari pada pilkada, namun sayang lele
banyak yang mati saat percobaan beternak L )
0 komentar:
Posting Komentar