Advertisements

Jumat, 13 Januari 2012

Punk : Hikayat pejuang HAM dan istri Aladdin

Punk, awal-awal tidak terusik, apa lagi masalah pembinaan. Itu pun baru saja dilakukan pihak berwenang. Walau sebenarnya punk sendiri mengusik stiap warga kota banda aceh atau pendatang yang melihatnya. Setidaknya terusik karena heran. Rambut bagai duri landak dan anting dibagian tubuh tertentu. Wajah kusam dan pakaian ala korban perang. Benar-benar terlihat berbeda dengan realitas yang selama ini dibayangkan oleh para pendatang dari luar aceh ataupun warga aceh sendiri. 

Dua minggu yang lalu, penulis kebetulan mendampingi tamu dari salah satu lembaga induk organisasi keislaman Malaysia. Selain kunjungan, mereka juga melihat-lihat dan memotret hal-hal yang di anggap unik dikota banda aceh. Dan beberapa kali mereka terlihat memotret anak-anak punk yang sedang duduk-duduk disekitaran blang padang. “Unik “, kata mereka menggelengkan kepala. Dalam hati penulis, “bagi kami orang aceh itu juga barang baru cek”.

ilustrasi (foto: google.com)
Seperti kita ketahui, Perdebatan seputaran punk bukan hanya dimedia massa atau bagi kalangan tertentu. Tapi juga diruang-ruang kuliah antara dosen dengan mahasiswanya. Guru dengan muridnya. Dan kedai kopi pun tidak bisa dikatakan  sepi, dalam dua minggu ini dalam membahas secara “alot” terkait punk. Apalagi disetiap rumah tangga warga kota banda aceh, punk menjadi sasaran yang mesti dibahas. Maka wajar jika kemudian issu ini merangkak cepat keluar daerah, walaupun itu asumsi pertama dan asumsi keduanya tentu saja memang ada golongan yang sedang mengangkat issu ini supaya lebih cepat menggigit untuk kepentingan tertentu. Namun menurut hemat penulis, yang perlu diperjelas disini adalag mengenai punk, aceh dan HAM. 

Berbicara Punk adalah berbicara hal baru di Aceh. Berbicara aceh adalah berbicara budaya, kearifan local yang tentu saja disusun dalam sebuah nilai yang islami. Karena mau tidak mau kita harus mengakui bahwa berbicara Aceh adalah berbicara keislaman. Dan berbicara masalah HAM adalah berbicara Internasional, dalam hal ini, actor HAM sesungguhnya adalah Barat. Dari sana muncul HAM. Walau kemudian ada yang mengatakan HAM yang yang sesungguhnya pertama sekali diproklamirkan oleh Islam (lihat piagam madinah). 

Namun HAM dalam arti yang dibahas sekarang adalah HAM-nya internasional. HAM yang diperjuangkan warga dunia barat dan dicoba tawarkan dengan “dengan penuh paksa” untuk menyelesaikan sengketa warga timur yang penuh dengan peradaban local dan kaya akan khazanah yang tidak ditemukan dibarat.
Makanya dalam mengkaji HAM merupakan bukan masalah baru bagi anak-anak timur ataupun lebih khusus penghuni kepulauan nusantara, Indonesia. Sebagai contoh, Prof. Dr.  HAMKA pernah mengkaji secara khusus terhadap DUHAM (deklarasi Hak-Hak asasi manusia) yang ditetapkan oleh PBB, pada 10 Desember 1948. Ulama sekaligus ilmuan ini tidak secara serta merta mengambil HAM sebagai salah satu pemutus atau penilai kebenaran budaya timur atau menggeser posisi kearifan local dengan HAM. Bahkan bagi HAMKA sendiri, pasal-pasal dalam DUHAM tidak semuanya sejalan dengan semangat keislaman. Dan itu secara tegas beliau tolak.

Ulama yang mengarang sebuah karya monumental bernama tafsir Al-Azhar yang dibaca jutaan manusia ini mempunyai prinsip yang kuat dan akan menolak apapun yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan Hadits. Oleh sebab itu, menjadi pelajaran bagi aktivis HAM dan para pegiat HAM diaceh untuk lebih berkaca pada pengalaman orang-orang yang terlebih dahulu mengamati HAM secara khusus. Karena menurut HAMKA, ada Pasal dalam HAM yang Bahkan mencoba untuk menggeserkan peran agama, seperti  pasal 16 dalam DUHAM yang berbunyi : lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak sama dengan hubungan  dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal penceraian.

Pasal ini, secara tegas ditolak oleh HAMKA.

 Atau misalnya salah satu pasal lagi dalam DUHAM, yaitu pasal 18 : setiap orang mempunyai hak untuk berfikir, berperasaan dan beragama. Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya, mempraktekkannya, menyembah dan mengamalkannya.

Terhadap pasal ini juga HAMKA secara tegas mengatakan, “hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama dan kepercayaan. Kata-kata ini tidak dapat diterima oleh orang islam. Sangat bertentangan dengan pokok dasar dan pegangan umat islam !”.

Lalu bagaimana dengan punk? Sepertinya kita tidak perlu lagi mendebat masalah pencuri salah atau tidak. Maling salah atau tidak. Masuk kerumah orang tanpa permisi secara etika, sangatlah buruk. Jika hari ini sebagian orang mengatakan Punk masuk ke aceh tanpa permisi dan mengganngu atau mengusik pemandangan orang aceh, itu sah-sah saja. Dan rasanya kita tidak usah lagi mencari pengacara untuk membela para maling yang mencoba menggarap lahan yang sudah digarap terlebih dahulu oleh islam. 

Yang celakanya, para aktivis HAM mengambil dan menggunakan bermacam cara dalam rangka memnuhi syahwat para “agen” HAM Barat. Seperti alasan saling menghargai, kerukunan, mereka tidak mengganggu orang, mereka anak-anak kreatif, setiap manusia punya hak sejak dilahirkan. Dan lain sebagainya.
Semestinya, para pegiat HAM di aceh harus selektif dan menghargai semangat keacehan yang tentu saja sejalan dengan islam. Jangan sampai seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh tukang sihir.
Wallahu`alam.


(ditengah gemuruhnya isu punk)
Kota mahasisawa, 2 jam sebelum diskusi AFSIC


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Catatan Pinggir Mahasiswa Kesepian All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3. Published..Blogger Templates