Punk : Hikayat pejuang HAM dan istri Aladdin
Punk, awal-awal tidak terusik, apa lagi masalah
pembinaan. Itu pun baru saja dilakukan pihak berwenang. Walau sebenarnya punk
sendiri mengusik stiap warga kota banda aceh atau pendatang yang melihatnya. Setidaknya
terusik karena heran. Rambut bagai duri landak dan anting dibagian tubuh
tertentu. Wajah kusam dan pakaian ala korban perang. Benar-benar terlihat
berbeda dengan realitas yang selama ini dibayangkan oleh para pendatang dari
luar aceh ataupun warga aceh sendiri.
Dua minggu yang lalu, penulis kebetulan
mendampingi tamu dari salah satu lembaga induk organisasi keislaman Malaysia. Selain
kunjungan, mereka juga melihat-lihat dan memotret hal-hal yang di anggap unik
dikota banda aceh. Dan beberapa kali mereka terlihat memotret anak-anak punk
yang sedang duduk-duduk disekitaran blang padang. “Unik “, kata mereka menggelengkan kepala. Dalam hati penulis, “bagi kami orang aceh itu juga barang baru
cek”.
![]() |
ilustrasi (foto: google.com) |
Seperti kita ketahui, Perdebatan seputaran punk
bukan hanya dimedia massa atau bagi kalangan tertentu. Tapi juga diruang-ruang
kuliah antara dosen dengan mahasiswanya. Guru dengan muridnya. Dan kedai kopi pun
tidak bisa dikatakan sepi, dalam dua
minggu ini dalam membahas secara “alot” terkait punk. Apalagi disetiap rumah
tangga warga kota banda aceh, punk menjadi sasaran yang mesti dibahas. Maka
wajar jika kemudian issu ini merangkak cepat keluar daerah, walaupun itu asumsi
pertama dan asumsi keduanya tentu saja memang ada golongan yang sedang
mengangkat issu ini supaya lebih cepat menggigit untuk kepentingan tertentu.
Namun menurut hemat penulis, yang perlu diperjelas disini adalag mengenai punk,
aceh dan HAM.
Berbicara Punk adalah berbicara hal baru di Aceh. Berbicara
aceh adalah berbicara budaya, kearifan local yang tentu saja disusun dalam
sebuah nilai yang islami. Karena mau tidak mau kita harus mengakui bahwa
berbicara Aceh adalah berbicara keislaman. Dan berbicara masalah HAM adalah
berbicara Internasional, dalam hal ini, actor HAM sesungguhnya adalah Barat.
Dari sana muncul HAM. Walau kemudian ada yang mengatakan HAM yang yang
sesungguhnya pertama sekali diproklamirkan oleh Islam (lihat piagam madinah).
Namun HAM dalam arti yang dibahas sekarang adalah
HAM-nya internasional. HAM yang diperjuangkan warga dunia barat dan dicoba tawarkan
dengan “dengan penuh paksa” untuk menyelesaikan sengketa warga timur yang penuh
dengan peradaban local dan kaya akan khazanah yang tidak ditemukan dibarat.
Makanya dalam mengkaji HAM merupakan bukan masalah
baru bagi anak-anak timur ataupun lebih khusus penghuni kepulauan nusantara,
Indonesia. Sebagai contoh, Prof. Dr. HAMKA pernah mengkaji secara khusus terhadap
DUHAM (deklarasi Hak-Hak asasi manusia) yang ditetapkan oleh PBB, pada 10
Desember 1948. Ulama sekaligus ilmuan ini tidak secara serta merta mengambil
HAM sebagai salah satu pemutus atau penilai kebenaran budaya timur atau
menggeser posisi kearifan local dengan HAM. Bahkan bagi HAMKA sendiri,
pasal-pasal dalam DUHAM tidak semuanya sejalan dengan semangat keislaman. Dan
itu secara tegas beliau tolak.
Ulama yang mengarang sebuah karya monumental bernama
tafsir Al-Azhar yang dibaca jutaan manusia ini mempunyai prinsip yang kuat dan
akan menolak apapun yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan Hadits. Oleh sebab
itu, menjadi pelajaran bagi aktivis HAM dan para pegiat HAM diaceh untuk lebih
berkaca pada pengalaman orang-orang yang terlebih dahulu mengamati HAM secara
khusus. Karena menurut HAMKA, ada Pasal dalam HAM yang Bahkan mencoba untuk
menggeserkan peran agama, seperti pasal
16 dalam DUHAM yang berbunyi : lelaki dan
wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan
agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai
hak sama dengan hubungan dengan
perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal penceraian.
Pasal ini, secara tegas ditolak oleh HAMKA.
Atau misalnya
salah satu pasal lagi dalam DUHAM, yaitu pasal 18 : setiap orang mempunyai hak untuk berfikir, berperasaan dan beragama.
Hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan
baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup,
untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya,
mempraktekkannya, menyembah dan mengamalkannya.
Terhadap pasal ini juga HAMKA secara tegas
mengatakan, “hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama dan kepercayaan.
Kata-kata ini tidak dapat diterima oleh orang islam. Sangat bertentangan dengan
pokok dasar dan pegangan umat islam !”.
Lalu bagaimana dengan punk? Sepertinya kita tidak
perlu lagi mendebat masalah pencuri salah atau tidak. Maling salah atau tidak.
Masuk kerumah orang tanpa permisi secara etika, sangatlah buruk. Jika hari ini
sebagian orang mengatakan Punk masuk ke aceh tanpa permisi dan mengganngu atau
mengusik pemandangan orang aceh, itu sah-sah saja. Dan rasanya kita tidak usah
lagi mencari pengacara untuk membela para maling yang mencoba menggarap lahan
yang sudah digarap terlebih dahulu oleh islam.
Yang celakanya, para aktivis HAM mengambil dan
menggunakan bermacam cara dalam rangka memnuhi syahwat para “agen” HAM Barat.
Seperti alasan saling menghargai, kerukunan, mereka tidak mengganggu orang,
mereka anak-anak kreatif, setiap manusia punya hak sejak dilahirkan. Dan lain
sebagainya.
Semestinya, para pegiat HAM di aceh harus selektif
dan menghargai semangat keacehan yang tentu saja sejalan dengan islam. Jangan
sampai seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang
dijajakan oleh tukang sihir.
Wallahu`alam.
(ditengah gemuruhnya isu punk)
Kota mahasisawa, 2 jam sebelum diskusi AFSIC
0 komentar:
Posting Komentar