Advertisements

Rabu, 26 Oktober 2011

Potret kritis mahasiswa dan kebencian terhadap islamisasi kampus


Potret kritis mahasiswa dan kebencian terhadap islamisasi kampus
Oleh :
Andika Muttaqin Ismail *

Suatu sore saya diltelfon oleh salah seorang senior di Fakultas tempat saya kuliah. Senior saya kali ini begitu berapi-api membuka sebuah wacana politik kampus seputar pemilihan ketua BEM. Dan saya merupakan objek yang dicoba diamkan dengan wacana yang ia bawa. Karena memang naluri senior terkesan lebih ulung dalam membuka wacana, apalagi berhadapan dengan juniornya.
Sebenarnya hanya satu yang membuat saya diminta untuk tidak mencampuri urusan pemilihan kampus dalam rangka pemenangan kandidat yang akan memimpin BEM dan kemudian berpengaruh pada kebijakan kegiatan mahasiswa satu periode mendatang, yakni karena saya berasal dari kalangan lembaga dawah kampus. Dan lembaga ini diminta untuk tidak unjuk diri dalam perpolitikan kampus.
“harga jual lembaga dakwah kampus terlalu rendah difakultas social dan apalagi LDK seperti lembaga yang menakutkan bagi mahasiswa” tambahnya.
Awalanya saya hanya terdiam dan menjadi pendengar yang baik apa yang senior saya sampaikan. Mungkin ini ada benarnya juga pikir saya. Karena memang diawal-awal dia membuat wacana, dia seolah-olah berada pada posisi independent (tidak memihak kemana-mana). Namun independent yang ia bawa kemudian sedikit-demi sedikit mulai terbuka. Dan akhirnya terbukti, ia juga salah satu yang tidak senang dengan dakwah kampus. Dengan penuh intrik, Sebagai penutup wacana ia menekankan sekali lagi bahwa ia berada pada posisi netral dan independent dalam masalah arah politik mahasiswa, namun sayangnya, nasi terlampau menjadi bubur. Dan saya terbangun untuk menyadari kalau senior saya juga penentang dakwah kampus.
Menarik untuk dicermati. Setiap kondisi kampus membuat saya senang dengan hal-hal yang sensasi yang penuh ritme dan dinamika. Karena walau bagaimanapun, kampus adalah miniature sebuah pemerintahan dan itu agaknya cocok dengan saya yang bergelut dengan sebuah disiplin ilmu yang bernama politik. Ketika celotehan, guaraun ataupun keseriusan kerap sekali datang, maka asumsipun mewabah didalam pikiran untuk dicermati.
Sudah lumayan lama saya  mengerti kenapa dakwah kampus begitu diantisipasi bahkan ditakuti. Pengalaman dari kampus tetangga IAIN Ar-raniry  yang juga pernah menjadi tempat saya kuliah membuat saya sudah terlalu paham dengan ritme dan dinamika ini. Karena memang diawal-awal saya mengenal  lembaga mahasiswa atau organisasi-organisasi mahasiswa, bukanlah LDK (lembaga dakwah kampus) yang saya kenal, melainkan organisasi lain. Tidak jarang saya mendengar bahwa LDK merupakan organisasi yang diwanti-wanti untuk dimasuki.
Ungkapan LDK dibekengi parpol, LDK sok alim, LDK tertutup, orang LDK seolah-olah sok suci dan hanya bergaul dengan kalangan sendiri dan lain sebagainya.  itu merupakan ungkapan dan kata-kata yang lumrah ditelinga saya sebelum mencoba memasukinya. Barangkali sesudah memasuki LDK, saya sudah kurang perhatian dengan kata-kata semacam tadi. Karena keinginan yang cukup besar ditambah dengan penasaran yang semakin besar dari hari kehari, akhirnya saya memutuskan diri memasuki lembaga yang dicaci dikampus ini. Dan apa yang terjadi dengan saya? Apakah saya menemukan apa yang disebutkan tadi?. Disini saya mulai merasa kalau mereka yang mencaci LDK tidak tau dengan LDK itu sendiri. Atau memang mereka tau, namun tau untuk membenci. Karena memang kalau dasar benci, cukup susuh untuk mencintai. Apa lagi kebebencian yang terwariskan lewat cerita-cerita tanpa dasar dari para senior. Sedangkan yang tidak tau sepertinya memang tidak lagi mau tau. Atau memang bisa jadi mereka membenci dengan simbolisasi islami yang dibawa lembaga dakwah kampus. Karena setau saya, hanya LDK yang mewajibkan kadernya memakai jilbab besar (syar`ie), sholat berjamaah dan baca quran tiap ada kesempatan. Bahkan disalah satu fakultas, ada LDK fakultas yang mewajibkan baca quran 1 juz per-hari bagi anggota baru dan 2 juz per-hari bagi anggota lama. Bagi saya ini sesuatu yang berbeda dengan organisasi kampus lainnya. Penekanan seperti ini silahkan diberi arti pemaksaan atau apa, namun niat lembaga untuk mensholehkan anggota jelaslah ada. Burukkah lembaga dakwah kampus?
Maka jangan heran kalau ada orang-orang yang mencoba mengadu domba mahasiswa dengan “istilah anak kantin dan anak musala”. Seolah-olah anak-anak mushola tidak pernah ke kantin ataupun sebaliknya,
Realita yang seperti ini juga melanda semua fakultas dimana ada mahasiswa yang mencoba menerapkan islamisai dikampus, termasuk fakultas fisip tempat saya kuliah. Bahkan ada salah seorang teman saya dengan berani mengatakan didepan dosen “saya bangga menjadi anak PKI. Saya senang jika disebut sebagai anak PKI”. Dan dosenpun tidak bisa berkata banyak. Disilah letak kebebasan kita yang nantinya akan berujung kepada keblablasan. Mengatakan diri LDK merupakan aib, sedangkan mengatakan diri PKI adalah sebuah kebanggaan. Heran !
Wajar jika kemudian ada asumsi yang mengatakan bahwa kebencian terhadap lembaga dakwah kampus atau islamisasi kampus merupakan bagian dari pertentangan ideologis. Ide stalin, Karx mark dan Mustafa Kemal Ataturk benar-benar menjelma dikampus, namun banyak mahasiswa yang tidak menyadarinya. Budaya ikut-ikutan biar disebut Kritis seolah tren yang kurang baik jika ditinggalkan.
Sejarah tentang tren kritis hingga mengkritisi agama sebenarnya juga bukan barang baru bagi kalangan mahasiswa dan akademisi. Sebagai contoh, pada tahun 1981 terbitlah sebuah buku berjudul “pergolakan pemikiran islam” karya ahmad wahib, yang diterbitkan kembali pada tahun 2003 oleh LP3ES bekerja sama dengan Freedom Institute pimpinan Dr.Rizal malaranggeng. Diatara isi buku ini adalah,
“Wah, andai saja hanya tangan kanan Muhammad yang memegang kitap, yaitu Al-Hadits, sedangkan ditangan kanannya ada tidak ada wahyu (Al-qur`an), maka dengan tegas aku akan berkata bahwa Karl Marx dan Frederic Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni sorga tingkat pertama, berkumpul dengan Nabi dan Syuhada”.
Perlu kita ketahui secara bersama bahwa Ahmad wahib ini merupakan aktivis HMI Universitas Gajah Mada tahun 1960-an. Sangat mengherankan jika ada organisasi sekelas HMI yang melahirkan kader-kader kampus semacam ahmad wahib. Sampai-sampai Prof.Dr.Rasjidi mengatakan kalau buku Ahmad wahib ini diterbitkan maka ini akan menjadi Tragedi bagi Umat islam. Dan MUI sendiri meminta supaya buku ini ditarik kembali. Namun terlambat untuk diantisipasi.
Awal-awalnya kita berpikir bahwa hanya Ahmad wahib saja yang berpikiran seperti ini dalam HMI, namun sebenarnya ada yang lebih master lagi, yaitu Nur Cholish majid. Bapak pluralism Indonesia. Dan menjadi panutan dalan HMI sampai sekarang. Sebagai contoh NDP HMI yang sampai sekarang masih digunakan, padahal yang membuat NDP itu sendiri adalah Cak Nur (nama keren Nurholis majid). Walaupun tidak semua kader HMI menyetujui hal ini. Bahkan tidak sedikit kader yang menentang supaya HMI jangan digerogoti oleh virus sekuler-liberal.
Dan untuk menekankan betapa penting pemikiran Ahmad wahib ini, HMI cabang ciputat bahkan menyelenggarakan sayembara penulisan Esai keislaman Ahmad wahib. Pemenangnya akan mendapatkan hadiah sebesar Rp.30 juta rupiah. Ini cara kader HMI dalam memuja pemikiran Ahmad wahib.
Pemikiran bukan hanya islam yang benar, namun semua agama benar dan tidak ada kebenaran yang Absolute dilahirkan dari ide rasionalisme yang merupakan buah dari pemikiran barat sekuler. Jangankan budaya “beriman”, agama Kristen saja kelabakan dihantam budaya barat. Bukan barat yang dikristenkan, namun Kristen yang dibaratkan. Jika kita melihat peradaban barat, kita pasti akan melihat realitas dikalangan pemikir-pemikir, aktivis-aktivis dan lain sebagainya, bahwa tidak ada pendapat yang benar. Kita tidak boleh meng-claim pendapat kita yang benar dan memaksakan pada orang lain. Standar kebenaran adalah yang sesuai untuk memuaskan. Semua pendapat tidak ada yang absolute, melainkan relative.
Ketika semua pendapat relative, termasuk hokum agama dan agama itu sendiri, maka agama bukan lagi menjadi standar baik atau buruk. Maka tidak perlu heran jika agama diminta jangan mencampuri urusan kehidupan. Tidak sedikit dibarat yang sudah mulai meninggalkan agama. Teriakan seperti Nietzche “God Is deat”. Dalam The Gay Science ia mengatakan “ketika kami mendengar Tuhan Tua sudah mati, kami para Filosof dan jiwa-jiwa yang bebas, seakan-akan merasakan seakan-akan Fajar telah menyingsing menyinari kita”.
Kenapa mereka begitu membenci Agama dan Tuhan?. Karl marx menganggab agama sebagai candu masyarakat. Nietzche menganggab Tuhan sebagai Tirani jiwa (Tyrant of the soul).
Pada realitasnya, sesudah membunuh Tuhan, barat mengangkat Tuhan baru bernama “Rasionalime”. Belum puas juga, mereka kemudian mengangkat “Liberalisme” sebagai Tuhan. Maka kalau menurut Ziauddin Zardar, liberalism berarti Wajah tanpa kebenaran (No Truth), tanpa realitas (No Reality), tanpa makna (No meaning).
Ketika Kristen sudah dibaratkan atau terbaratkan, maka datanglah anak-anak muda muslim yang terpengaruh dan meminjamnya. Dari pada mengatakan kemusliman, lebih baik mengatakan diri PKI. Maka mulut yang mengucapkan Syahadat akan mengeluarkan pikiran yang Atheis. Tuhan yang Maha Kuasa menjadi Maha lemah. Al-Qur`an yang suci dan sakral tidak bedanya dengan Novel-Novel dan Roman-Roman biasa. Ia sama-sama keluar dari mulut manusia. Wallahu`alam…

*penulis adalah peminat kajian mahasiswa dan peneliti di AFSIC

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Catatan Pinggir Mahasiswa Kesepian All Right Reserved
Designed by Harman Singh Hira @ Open w3. Published..Blogger Templates