Potret kritis mahasiswa dan kebencian terhadap islamisasi kampus
Potret
kritis mahasiswa dan kebencian terhadap islamisasi kampus
Oleh
:
Andika
Muttaqin Ismail *
Suatu
sore saya diltelfon oleh salah seorang senior di Fakultas tempat saya kuliah.
Senior saya kali ini begitu berapi-api membuka sebuah wacana politik kampus
seputar pemilihan ketua BEM. Dan saya merupakan objek yang dicoba diamkan
dengan wacana yang ia bawa. Karena memang naluri senior terkesan lebih ulung
dalam membuka wacana, apalagi berhadapan dengan juniornya.
Sebenarnya
hanya satu yang membuat saya diminta untuk tidak mencampuri urusan pemilihan
kampus dalam rangka pemenangan kandidat yang akan memimpin BEM dan kemudian
berpengaruh pada kebijakan kegiatan mahasiswa satu periode mendatang, yakni
karena saya berasal dari kalangan lembaga dawah kampus. Dan lembaga ini diminta
untuk tidak unjuk diri dalam perpolitikan kampus.
“harga
jual lembaga dakwah kampus terlalu rendah difakultas social dan apalagi LDK
seperti lembaga yang menakutkan bagi mahasiswa” tambahnya.
Awalanya
saya hanya terdiam dan menjadi pendengar yang baik apa yang senior saya
sampaikan. Mungkin ini ada benarnya juga pikir saya. Karena memang diawal-awal
dia membuat wacana, dia seolah-olah berada pada posisi independent (tidak
memihak kemana-mana). Namun independent yang ia bawa kemudian sedikit-demi
sedikit mulai terbuka. Dan akhirnya terbukti, ia juga salah satu yang tidak
senang dengan dakwah kampus. Dengan penuh intrik, Sebagai penutup wacana ia
menekankan sekali lagi bahwa ia berada pada posisi netral dan independent dalam
masalah arah politik mahasiswa, namun sayangnya, nasi terlampau menjadi bubur.
Dan saya terbangun untuk menyadari kalau senior saya juga penentang dakwah
kampus.
Menarik
untuk dicermati. Setiap kondisi kampus membuat saya senang dengan hal-hal yang
sensasi yang penuh ritme dan dinamika. Karena walau bagaimanapun, kampus adalah
miniature sebuah pemerintahan dan itu agaknya cocok dengan saya yang bergelut
dengan sebuah disiplin ilmu yang bernama politik. Ketika celotehan, guaraun
ataupun keseriusan kerap sekali datang, maka asumsipun mewabah didalam pikiran
untuk dicermati.
Sudah
lumayan lama saya mengerti kenapa dakwah
kampus begitu diantisipasi bahkan ditakuti. Pengalaman dari kampus tetangga
IAIN Ar-raniry yang juga pernah menjadi
tempat saya kuliah membuat saya sudah terlalu paham dengan ritme dan dinamika
ini. Karena memang diawal-awal saya mengenal
lembaga mahasiswa atau organisasi-organisasi mahasiswa, bukanlah LDK
(lembaga dakwah kampus) yang saya kenal, melainkan organisasi lain. Tidak
jarang saya mendengar bahwa LDK merupakan organisasi yang diwanti-wanti untuk
dimasuki.
Ungkapan
LDK dibekengi parpol, LDK sok alim, LDK tertutup, orang LDK seolah-olah sok
suci dan hanya bergaul dengan kalangan sendiri dan lain sebagainya. itu merupakan ungkapan dan kata-kata yang
lumrah ditelinga saya sebelum mencoba memasukinya. Barangkali sesudah memasuki
LDK, saya sudah kurang perhatian dengan kata-kata semacam tadi. Karena
keinginan yang cukup besar ditambah dengan penasaran yang semakin besar dari
hari kehari, akhirnya saya memutuskan diri memasuki lembaga yang dicaci
dikampus ini. Dan apa yang terjadi dengan saya? Apakah saya menemukan apa yang
disebutkan tadi?. Disini saya mulai merasa kalau mereka yang mencaci LDK tidak
tau dengan LDK itu sendiri. Atau memang mereka tau, namun tau untuk membenci.
Karena memang kalau dasar benci, cukup susuh untuk mencintai. Apa lagi
kebebencian yang terwariskan lewat cerita-cerita tanpa dasar dari para senior.
Sedangkan yang tidak tau sepertinya memang tidak lagi mau tau. Atau memang bisa
jadi mereka membenci dengan simbolisasi islami yang dibawa lembaga dakwah
kampus. Karena setau saya, hanya LDK yang mewajibkan kadernya memakai jilbab
besar (syar`ie), sholat berjamaah dan baca quran tiap ada kesempatan. Bahkan
disalah satu fakultas, ada LDK fakultas yang mewajibkan baca quran 1 juz per-hari
bagi anggota baru dan 2 juz per-hari bagi anggota lama. Bagi saya ini sesuatu
yang berbeda dengan organisasi kampus lainnya. Penekanan seperti ini silahkan
diberi arti pemaksaan atau apa, namun niat lembaga untuk mensholehkan anggota
jelaslah ada. Burukkah lembaga dakwah kampus?
Maka
jangan heran kalau ada orang-orang yang mencoba mengadu domba mahasiswa dengan
“istilah anak kantin dan anak musala”. Seolah-olah anak-anak mushola tidak
pernah ke kantin ataupun sebaliknya,
Realita
yang seperti ini juga melanda semua fakultas dimana ada mahasiswa yang mencoba
menerapkan islamisai dikampus, termasuk fakultas fisip tempat saya kuliah.
Bahkan ada salah seorang teman saya dengan berani mengatakan didepan dosen
“saya bangga menjadi anak PKI. Saya senang jika disebut sebagai anak PKI”. Dan
dosenpun tidak bisa berkata banyak. Disilah letak kebebasan kita yang nantinya
akan berujung kepada keblablasan. Mengatakan diri LDK merupakan aib, sedangkan
mengatakan diri PKI adalah sebuah kebanggaan. Heran !
Wajar
jika kemudian ada asumsi yang mengatakan bahwa kebencian terhadap lembaga
dakwah kampus atau islamisasi kampus merupakan bagian dari pertentangan
ideologis. Ide stalin, Karx mark dan Mustafa Kemal Ataturk benar-benar menjelma
dikampus, namun banyak mahasiswa yang tidak menyadarinya. Budaya ikut-ikutan
biar disebut Kritis seolah tren yang kurang baik jika ditinggalkan.
Sejarah
tentang tren kritis hingga mengkritisi agama sebenarnya juga bukan barang baru
bagi kalangan mahasiswa dan akademisi. Sebagai contoh, pada tahun 1981
terbitlah sebuah buku berjudul “pergolakan pemikiran islam” karya ahmad wahib,
yang diterbitkan kembali pada tahun 2003 oleh LP3ES bekerja sama dengan Freedom
Institute pimpinan Dr.Rizal malaranggeng. Diatara isi buku ini adalah,
“Wah,
andai saja hanya tangan kanan Muhammad yang memegang kitap, yaitu Al-Hadits,
sedangkan ditangan kanannya ada tidak ada wahyu (Al-qur`an), maka dengan tegas
aku akan berkata bahwa Karl Marx dan Frederic Engels lebih hebat dari utusan
Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar
biasa pula, akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah
penghuni sorga tingkat pertama, berkumpul dengan Nabi dan Syuhada”.
Perlu
kita ketahui secara bersama bahwa Ahmad wahib ini merupakan aktivis HMI
Universitas Gajah Mada tahun 1960-an. Sangat mengherankan jika ada organisasi
sekelas HMI yang melahirkan kader-kader kampus semacam ahmad wahib.
Sampai-sampai Prof.Dr.Rasjidi mengatakan kalau buku Ahmad wahib ini diterbitkan
maka ini akan menjadi Tragedi bagi Umat islam. Dan MUI sendiri meminta supaya
buku ini ditarik kembali. Namun terlambat untuk diantisipasi.
Awal-awalnya
kita berpikir bahwa hanya Ahmad wahib saja yang berpikiran seperti ini dalam
HMI, namun sebenarnya ada yang lebih master lagi, yaitu Nur Cholish majid.
Bapak pluralism Indonesia. Dan menjadi panutan dalan HMI sampai sekarang.
Sebagai contoh NDP HMI yang sampai sekarang masih digunakan, padahal yang
membuat NDP itu sendiri adalah Cak Nur (nama keren Nurholis majid). Walaupun
tidak semua kader HMI menyetujui hal ini. Bahkan tidak sedikit kader yang
menentang supaya HMI jangan digerogoti oleh virus sekuler-liberal.
Dan
untuk menekankan betapa penting pemikiran Ahmad wahib ini, HMI cabang ciputat
bahkan menyelenggarakan sayembara penulisan Esai keislaman Ahmad wahib.
Pemenangnya akan mendapatkan hadiah sebesar Rp.30 juta rupiah. Ini cara kader
HMI dalam memuja pemikiran Ahmad wahib.
Pemikiran
bukan hanya islam yang benar, namun semua agama benar dan tidak ada kebenaran
yang Absolute dilahirkan dari ide rasionalisme yang merupakan buah dari
pemikiran barat sekuler. Jangankan budaya “beriman”, agama Kristen saja
kelabakan dihantam budaya barat. Bukan barat yang dikristenkan, namun Kristen
yang dibaratkan. Jika kita melihat peradaban barat, kita pasti akan melihat
realitas dikalangan pemikir-pemikir, aktivis-aktivis dan lain sebagainya, bahwa
tidak ada pendapat yang benar. Kita tidak boleh meng-claim pendapat kita yang
benar dan memaksakan pada orang lain. Standar kebenaran adalah yang sesuai
untuk memuaskan. Semua pendapat tidak ada yang absolute, melainkan relative.
Ketika
semua pendapat relative, termasuk hokum agama dan agama itu sendiri, maka agama
bukan lagi menjadi standar baik atau buruk. Maka tidak perlu heran jika agama
diminta jangan mencampuri urusan kehidupan. Tidak sedikit dibarat yang sudah
mulai meninggalkan agama. Teriakan seperti Nietzche “God Is deat”. Dalam The
Gay Science ia mengatakan “ketika kami mendengar Tuhan Tua sudah mati, kami
para Filosof dan jiwa-jiwa yang bebas, seakan-akan merasakan seakan-akan Fajar
telah menyingsing menyinari kita”.
Kenapa
mereka begitu membenci Agama dan Tuhan?. Karl marx menganggab agama sebagai
candu masyarakat. Nietzche menganggab Tuhan sebagai Tirani jiwa (Tyrant of the
soul).
Pada
realitasnya, sesudah membunuh Tuhan, barat mengangkat Tuhan baru bernama
“Rasionalime”. Belum puas juga, mereka kemudian mengangkat “Liberalisme”
sebagai Tuhan. Maka kalau menurut Ziauddin Zardar, liberalism berarti Wajah
tanpa kebenaran (No Truth), tanpa realitas (No Reality), tanpa makna (No
meaning).
Ketika
Kristen sudah dibaratkan atau terbaratkan, maka datanglah anak-anak muda muslim
yang terpengaruh dan meminjamnya. Dari pada mengatakan kemusliman, lebih baik
mengatakan diri PKI. Maka mulut yang mengucapkan Syahadat akan mengeluarkan
pikiran yang Atheis. Tuhan yang Maha Kuasa menjadi Maha lemah. Al-Qur`an yang
suci dan sakral tidak bedanya dengan Novel-Novel dan Roman-Roman biasa. Ia
sama-sama keluar dari mulut manusia. Wallahu`alam…
*penulis
adalah peminat kajian mahasiswa dan peneliti di AFSIC
0 komentar:
Posting Komentar